Bukan Sebab Purnama

Photo by Fadhil N on Unsplash

Kesunyian malam kali ini tak begitu senyap ketika wajahmu tampak tepat di depan mataku. Namun, benarkah rona merah di pipimu adalah sebab aku? Begitulah pertanyaan dalam hati sang aku yang selalu berusaha mengungkap teka-teki rumpang, meskipun lebih sering menyakitkan. Lantas tak kunjung bertemu dengan arti yang diinginkan sekedar memendam dan berakhir mendendam.

Kala itu aku duduk di dekat seorang bernama Rona, nama panggilan yang membuatnya semakin bercahaya. Lama tidak menyapa, senyumnya membuat pertemuan kita seakan bagai foto yang dihias bingkai menangkap kenangan, kemudian diingat kembali bagaimana kisah itu pernah diperjuangkan. Pikiran menerangkan kata, “mari bicara” tapi ternyata sebuah tanda menyapa untuk tetap diam dan duduk dalam panggung sandiwara kerinduan.

Seorang perempuan dengan usia yang tak bisa lagi disebut remaja tengah lengah menatap malam meski tanpa bintang menghias di tiap gelap, sehingga tak ada istimewanya langit kala itu, tapi berbeda dengan hatinya. Luluh. Berdebar jantungnya seketika setelah aroma Rona sampai hidungnya, tepat duduk disampingnya. Berbisik, “Bagaimana kabarmu? Apakah kamu baik-baik saja?”. Seperti bom yang tiba-tiba meledak, perempuan yang menyebut dirinya sebagai aku, tersenyum menahan diri untuk tak menyentuh Rona.

Kembali tertawa mereka memadu kerinduan yang entah dari mana asalnya dan apakah benar keduanya atau sepihak saja. Sang perempuan masih menanyakan pada bilik hatinya, bagaimana bisa Rona menembus ruang kecil yang kosong itu hanya sebagai keakraban atau sebagai harapan. Kata aku “Sudahkah aku menghilangkan aku untuk mendapat kesan Rona? Atau tinggal hanya keakuan untuk memberi dan meminta kembali harapan yang tumbuh akibat lenyapnya sepi?”. Kebohongan yang dikatakan aku pertama kali, “Aku tidak begitu”. Sombong sekali.

Rona menepuk pundak aku, menatap mata dan berkata bahwa sebuah pertemuan adalah kebahagiaan. Ia berkata, “Bagaimana bisa aku tidak berharap kamu datang, jika kedatanganmu membawa kebahagiaan?”. Omong kosong pemuda yang biasa membual untuk seorang gadis sebab cinta monyet anak baru gede. Tapi bukankah perempuan yang menyebut dirinya aku tidak patut disebut ABG?

Namaku, Rena. Perempuan yang tak bisa beralih dari masa lalu yang menghantui meski itu tidak adil bagi diriku. Meski namaku Rena dan Rona memiliki kesamaan, kami bukan anak kembar yang dilahirkan dari rahim seorang ibu yang sama. Kami hanya dua insan yang bertemu di saat badai dan hujan secara tidak sengaja, yang membuat aku melihat sosok lelaki tinggi itu di halte bus kala itu.

“Bukankah pertemuan dan percakapan denganku selalu menyenangkan?” tanyanya. Sungguh, pertanyaan yang selalu ingin ku jawab dengan kata iya, tapi sulit sekali rasanya. Aku, yang dia panggil Rena, banyak memiliki tanya besar setelah sekian lama tak berjumpa dengan Rona. “Benarkah aku harus mencari teka-teki rumpang yang begitu rumit lagi?” tanya aku dalam hati sebelum menjawab pertanyaannya. “Iya, menyenangkan”, jawabku memecah hening.

Malam itu bukan purnama, tapi entah kenapa sinar seperti berada di sekelilingku. Sekali lagi, ini bukan purnama, yang bulan akan tampak cerah nan indah. Apa karena pertemuan di malam hening bersama Rona? Lho, apa iya? Kami hanya dua orang yang berusaha menerjemahkan makna kerinduan dengan sebuah pertemuan. Bukan sejoli yang sedang mabuk kasmaran. Tidak ada salahnya bukan?

Sebab tanya, pada malam tanpa purnama. Bahkan bintang tak datang untuk berteman dengan keheningan yang merambat karena hentinya percakapan. Aku dan Rona sedang berbagi senyum. Bukankah menyenangkan memiliki teman yang membersamai dengan ketulusan. Tapi malam itu, ada sebuah tanya menyergap dada pada perakapan terakhir kita, “Benarkah Rena, perempuan yang ku sebut aku, hanya menganggap pertemuan sebagai obat dari pilu sebab tak bertemu? Atau lekat dengan jawab yang lain?”. Wah tentu kamu tidak tahu, apalagi aku juga Rona. Lelaki yang terus tersipu saat kami membicarakan hal aneh tanpa tujuan.

Post a Comment

0 Comments