Kala itu aku duduk di dekat seorang bernama Rona, nama
panggilan yang membuatnya semakin bercahaya. Lama tidak menyapa, senyumnya
membuat pertemuan kita seakan bagai foto yang dihias bingkai menangkap kenangan,
kemudian diingat kembali bagaimana kisah itu pernah diperjuangkan. Pikiran
menerangkan kata, “mari bicara” tapi ternyata sebuah tanda menyapa untuk
tetap diam dan duduk dalam panggung sandiwara kerinduan.
Seorang perempuan dengan usia yang tak bisa lagi disebut
remaja tengah lengah menatap malam meski tanpa bintang menghias di tiap gelap,
sehingga tak ada istimewanya langit kala itu, tapi berbeda dengan hatinya.
Luluh. Berdebar jantungnya seketika setelah aroma Rona sampai hidungnya, tepat
duduk disampingnya. Berbisik, “Bagaimana kabarmu? Apakah kamu baik-baik
saja?”. Seperti bom yang tiba-tiba meledak, perempuan yang menyebut dirinya
sebagai aku, tersenyum menahan diri untuk tak menyentuh Rona.
Kembali tertawa mereka memadu kerinduan yang entah dari
mana asalnya dan apakah benar keduanya atau sepihak saja. Sang perempuan masih
menanyakan pada bilik hatinya, bagaimana bisa Rona menembus ruang kecil yang
kosong itu hanya sebagai keakraban atau sebagai harapan. Kata aku “Sudahkah
aku menghilangkan aku untuk mendapat kesan Rona? Atau tinggal hanya keakuan
untuk memberi dan meminta kembali harapan yang tumbuh akibat lenyapnya sepi?”. Kebohongan
yang dikatakan aku pertama kali, “Aku tidak begitu”. Sombong sekali.
Rona menepuk pundak aku, menatap mata dan berkata bahwa
sebuah pertemuan adalah kebahagiaan. Ia berkata, “Bagaimana bisa aku tidak
berharap kamu datang, jika kedatanganmu membawa kebahagiaan?”. Omong kosong
pemuda yang biasa membual untuk seorang gadis sebab cinta monyet anak baru
gede. Tapi bukankah perempuan yang menyebut dirinya aku tidak patut disebut
ABG?
Namaku, Rena. Perempuan yang tak bisa beralih dari masa
lalu yang menghantui meski itu tidak adil bagi diriku. Meski namaku Rena dan
Rona memiliki kesamaan, kami bukan anak kembar yang dilahirkan dari rahim
seorang ibu yang sama. Kami hanya dua insan yang bertemu di saat badai dan
hujan secara tidak sengaja, yang membuat aku melihat sosok lelaki tinggi itu di
halte bus kala itu.
“Bukankah pertemuan dan percakapan denganku selalu
menyenangkan?” tanyanya. Sungguh, pertanyaan yang selalu ingin ku jawab dengan kata iya,
tapi sulit sekali rasanya. Aku, yang dia panggil Rena, banyak memiliki tanya
besar setelah sekian lama tak berjumpa dengan Rona. “Benarkah aku harus
mencari teka-teki rumpang yang begitu rumit lagi?” tanya aku dalam hati
sebelum menjawab pertanyaannya. “Iya, menyenangkan”, jawabku memecah
hening.
Malam itu bukan purnama, tapi entah kenapa sinar seperti
berada di sekelilingku. Sekali lagi, ini bukan purnama, yang bulan akan tampak
cerah nan indah. Apa karena pertemuan di malam hening bersama Rona? Lho, apa
iya? Kami hanya dua orang yang berusaha menerjemahkan makna kerinduan dengan
sebuah pertemuan. Bukan sejoli yang sedang mabuk kasmaran. Tidak ada salahnya
bukan?
Sebab tanya, pada malam tanpa purnama. Bahkan bintang tak
datang untuk berteman dengan keheningan yang merambat karena hentinya
percakapan. Aku dan Rona sedang berbagi senyum. Bukankah menyenangkan memiliki
teman yang membersamai dengan ketulusan. Tapi malam itu, ada sebuah tanya
menyergap dada pada perakapan terakhir kita, “Benarkah Rena, perempuan yang
ku sebut aku, hanya menganggap pertemuan sebagai obat dari pilu sebab tak
bertemu? Atau lekat dengan jawab yang lain?”. Wah tentu kamu tidak tahu,
apalagi aku juga Rona. Lelaki yang terus tersipu saat kami membicarakan hal
aneh tanpa tujuan.
0 Comments