Love and Lost || Cerpen

Sumber gambar: Pinterest.com

Aku menatap remaja yang sedang memantul-mantulkan bola basket di tengah lapangan. Terik matahari membuat keringat bercucuran di wajah tampannya. Aku terus memperhatikannya sambil sesekali diam-diam mengambil gambar melalui HP-ku.
Ia berhenti memainkan bolanya ketika seorang remaja perempuan menghampirinya kemudian mendorong dada bidangnya. Aku terus memperhatikan kedua remaja itu yang sedang terlibat cek - cok tanpa niat untuk menghampiri.
Sebuah bentakan disertai kata-kata kasar menggema di lapagan basket outdoor tersebut. Aku masih setia duduk di bangku taman walaupun sempat kaget dengan bentakan keras itu. Nampaknya, kata-kata yang bisa dibilang menyakitkan dalam percintaan sudah diucapkan. Benar saja, remaja lelaki itu pergi menghampiriku.
"Ly," lelaki itu memanggilku sembari berlari kecil. Oke, panggil saja aku Lily. Dan dia, sahabatku, Andrew. Untuk orang yang dekat dengannya sepertiku memanggilnya Drew.
Dia duduk di sampingku kemudian mengelap keringat yang bercucuran dengan seragam yang aku gunakan. Untung saja dia sahabatku, jika bukan, sudah aku bantai dia di rawa-rawa.
"Ish, jorok banget. Seragam gue bau asem, babik."
"Capek gue, sat."
"Capek ya capek, gak usah jadiin seragam gue lap juga kali."
"Dapet keringet orang ganteng itu berkah loh,"
"Najis gila."
"Gue putus sama Liyah, Ly." ujarnya sambil sibuk mengipas wajahnya yang penuh keringat.
"Terus?"
"Ya gue lega lah. Gila banget gue ngurusin cewek yang sok kalem kek dia. Misal gak gue chat, dia pasti ngambek. Giliran gue chat, dia malah balesnya singkat-singkat. Malah kemarin gue berusaha mati-matian nyari topik, dia malah jawab pake emoticon senyum sama fuck doang. Di kira gak capek apa nyari topik."
"Andrew yang tololnya selangit, gue tanya sekarang sama lo. Lo ngerasa ada salah gak sama dia? Dia gitu pasti karena sikap lo juga. Jangan sia-siain dia, dia itu cewek baik-baik."
"Lo salah kalo nanya kek gitu sama gue. Gue mana pernah ngerasa ada salah sama seseorang."
"Heh, seharusnya lo itu lebih peka, lebih menghargai seseorang. Lo pikir sikap lo yang egois kek gini gak bikin orang sakit hati, hah? Dia juga sakit hati sama sikap lo."
"Kok lo jadi nyalahin gue sih? Yang temen lo itu gue atau Liyah? Kesannya itu lo lebih bela Liyah daripada gue."
"Gue gak nyalahin siapa pun. Sekarang gue tanya, berapa orang di sekolah ini yang lo baperin, hah? Berapa orang di sekolah ini yang lo gebet? Berapa orang yang udah bilang ke lo kalo dia Lo PHP-in? Lo pikir Liyah gak makan ati?"
"Banyak sih. Gue kan nambah-nambah stok cewek, Ly. Lumayan lah, ada banyak yang ngaku kalo mereka suka sama gue."
"Liyah itu udah sabar ya ngadepin lo selama ini. Lo pacaran sama Liyah, tapi lo chat sama cewek lain. Bukan satu orang doang yang lo chat, banyak Drew, banyak. Pantes lah kalo Liyah marah-marah sama lo.” Begitulah aku, selalu memberikan nasihat pada Drew namun tak ia hiraukan.
"Bodo amat, Ly. Gue udah punya cewek baru.”
"Astagfirullah, nyebut gue. Siapa lagi hah target lo?" aku sangat kesal padanya. Playboy tetaplah playboy ternyata. Dasar Drew playboy cap kaki tiga.
"Anak kelas sebelah. Dulu gue sempet sih deket sama dia. Terus dia punya cowok, tapi dia kek gak niat pacaran sama cowoknya gitu. Kemarin gue chat lagi sama dia. Gue diucapkan good night. Gila, baper gue."
Drew sinting. Bisa-bisanya dia baper hanya dengan kata-kata itu. Playboy namun baperan. Aneh sekali ini anak.
"Heh, bocah, gue tiap hari ngucapin good night lah, nice dream lah, semangat lah, lu kagak baper ke gue. Semua orang bisa ngucapin begitu, tinggal lo aja nanggepinnya gimana."
"Lah makanya itu, ayolah Ly, gue baper sama dia. Gue suka sama dia, gue sayang sama dia. Gue pengen dia jadi milik gue."
Kalian tau bagaimana perasaanku saat itu? Oh sudahlah, hatiku terlanjur remuk. Beribu ucapan-ucapan penyemangat yang aku ucapkan agar dia bisa mengerti perasaanku yang sebenarnya ternyata sudah kalah dengan 1 ucapan dari perempuan lain.
Jika kalian bertanya mengapa aku tidak bilang kalau aku menyukai Andrew, jawabannya hanya satu. Aku tak ingin merubah persahabatan yang sudah aku bangun setelah sekian lama aku berjuang. Biarpun dia tak menyukaiku, setidaknya dia tak menjauhiku. Setidaknya aku masih bisa melihat tawanya karenaku, bukan ucapan kasar seperti yang ia ucapkan pada perempuan yang ingin mendekatinya.
"Terus?"
"Gue kemarin sempet telpon sama dia. Hampir 2 jam, lama banget kan? Yang pas kita chat kemarin. Nah, itu gue sambil telponan sama dia. Asli, gue baper pas dia nyanyi bareng gue."
Sekarang aku mengerti, bahwa aku bukanlah prioritasnya. Dia menolak kuajak berbicara melalui telpon kemarin. Membalas chat dariku juga lama sekali. Ternyata, lelaki tidak peka itu sedang telpon dengan perempuan lain. Menyakitkan, tapi aku tak tau harus bagaimana. Ingin marah namun aku sadar diri bahwa aku hanya sekadar sahabatnya, bukan orang yang dicintainya.
"Ah bisa gila gue sama dia."
"Siapa dia?"
"Jelena, anak kelas sebelah." Kaget, pastilah. Aku dan Jelena itu seperti dua manusia yang sangat berbeda.
Oke aku jelaskan, Jelena ini anak yang sangat pandai dan cantik. Jika aku dibandingkan dengannya, pasti aku hanyalah ibarat secuil upil. Huh, sangat kecil dan buruk. Pantas saja, jika orang stress ini, maksudku Drew, menyukainya. Aku hanya berharap satu hal, semoga hatiku baik-baik saja jika mereka official.
"Bantuin gue dong,Ly. Bantuin supaya gue bisa jadian sama dia. Gue bener-bener cinta sama dia."
"Dia udah punya pacar bego." Maaf ya, aku tak bisa menahan kata-kata kasar keluar dari mulutku.
"Bodo amat, gue pokoknya suka sama dia. Gue sayang sama dia, gue cinta sama dia. Gak ada perempuan yang lebih baik selain dia. Udah, titik."
Hancur, sudah terlanjur lebur. Aku ingin menangis, namun aku tak bisa. Aku tak boleh menangis di hadapannya. Bagiku, ucapan itu sangat menusuk relung hatiku. Mataku mulai mengeluarkan cairan bening, namun segera mungkin aku seka agar ia tak bisa melihatnya.
Cukup menyakitkan saat dia bilang tak ada yang lebih baik dari Jelena. Aku hanyalah pemeran pengganti ketika tokoh utama sedang pergi. Sudah 2 kali mencintai tanpa dicintai, namun tetap saja aku bersikeras bahwa aku bisa, bahwa aku sanggup menahan rasa yang tak kunjung terbalas.
Aku masih setia dengan peranku, peran dimana aku dibutuhkan saat ia bersedih. Saat ia menangis, aku akan merengkuhnya. Saat ia bersedih, aku akan menghiburnya. Saat ia rapuh, aku akan memeluknya. Namun, saat ia bahagia aku akan tetap tersenyum walaupun seribu duri telah menancap di hati.
"Lo tau, gue kemarin abis dinner sama dia,"
Dinner? Aku saja tak pernah makan malam spesial dengannya. Paling-paling hanya makan bakso di jalan depan rumah. Segitu pentingnya Jelena di hidupnya?
"Gue bahagia banget kemarin. Tapi, rasanya masih ngeganjel sebelum kita resmi. Dan tentu, dia harus putus dulu sama cowoknya."
"Drew, gue gak pernah ngelarang lo buat deket sama cewek mana aja. Yang perlu lo inget, lo jangan sekali-kali berusaha merusak hubungan orang lain. Susah buat mereka mendapatkan apa yang sekarang mereka miliki. Semua butuh proses. Cewek masih banyak, jangan bikin diri lo buruk dengan lo rusak hubungan mereka. Semua gak akan baik ketika lo maksa buat rebut Jelena dari cowoknya."
"Oh ayolah, Ly, gue bener-bener serius sama dia. Ya, awalnya gue becanda doang sih chatting sama dia. Lama-lama gue ngerasa ada yang aneh sama perasaan gue. Gue selalu mikirin dia sebelum tidur, gue selalu pengen dengerin suara dia, sampai-sampai chat dia yang pake voice note gue bintang buat gue dengerin sebelum tidur."
Wow!! Dia saja tak pernah memperlakukanku seperti itu. Ia menganggap Jelena adalah malaikat untuknya. Dia menganggap Jelena adalah segalanya untuknya.

"Segitu berharganya dia buat lo?"
"Iya, dia itu bidadari tanpa sayap. Dia pantas buat mendapat cinta dari gue."
Jelena pantas mendapat cintanya? Lalu, mengapa aku tidak? Mengapa aku tak bisa mendapat cintanya? Mengapa aku tak bisa menjadi bidadari hatinya?

"Jangan bilang kek gitu, barangkali dia hanya menarik, tapi bukan yang terbaik."
"Apa maksud lo ngomong kek gitu hah?"
"Itu cuma opini gue aja,"
"Lo mau ngejelekin Jelena?" Kenapa dia marah? Aku kan hanya menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku, itu saja.
"Gue gak pernah bilang itu,"
Kami sama-sama berpegang teguh pada opini kami. Sama-sama kokoh pada pendirian kami. Dia ingin membela Jelena, dan aku hanya menyampaikan pendapat yang ada di hatiku.
"Dia paling baik buat gue, dan gak ada yang paling baik bagi gue selain dia."
"Coba lo buka mata lo, Drew. Lo enggak pernah tau, di dunia ini ada yang berjuang buat lo, ada yang berjuang buat dicintai sama lo. Ada yang berjuang buat nunjukin besar cintanya buat lo. Lo harusnya sadar, gak semua orang yang lo anggap baik, bisa selamanya baik. Yang menarik di mata lo, belum tentu terbaik buat lo di mata dunia." Aku terlanjur kesal. Bisa-bisanya dia bilang seperti itu.
"Tapi tetep aja, dia terbaik buat gue, always and forever."
"Terserah," aku kemudian diam membisu. Kami sama-sama sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
Aku pernah dengar suatu kata-kata, begini bunyinya :
'Jangan tinggalkan yang terbaik demi yang menarik.'
Hah, basi. Selama ini aku sudah mencoba menjadi yang terbaik, namun aku selalu tak bisa. Aku hanya ingin dia mengerti perasaanku. Salahkah aku? tidak, kan? Namun, untuk berharap menjadi orang yang dia cintai, aku masih sadar diri. Aku ini tak cantik, tak pandai, tak kaya, tak segalanya dibandingkan dengan mantan kekasih dan juga orang-orang yang dicintai olehnya.
Namun, aku masih bertanya-tanya pada hati. Masih sanggupkah aku berada dalam jalan ini? Masih sanggupkah hati ini menerima segalanya bentuk ucapan yang menyakiti? Masih sanggupkah untuk berkorban sedangkan aku tak dihiraukan?
Aku mencintai, tapi aku kehilangan sebelum memiliki. Aku yang berkorban namun dia yang mendapatkan. Aku yang selama ini berjuang namun dia tak kunjung sadar tentang perasaan. Jika kalian bertanya apakah aku menyerah, maka jawabanku tidak. Aku belum lelah, aku masih setia menunggu dia mencintaiku, tak tau kapan itu terjadi.
Sesuatu yang tak pasti dan selalu menyakiti, itulah mencintai namun tak dihargai. Mencintai tanpa dicintai. Mencintai seseorang yang hanya menganggap kita obat ketika dia patah hati. Hanya teman, bukan pengisi hati. Menyedihkan sekali kisah cintaku ini.
"Lily," Dia mulai memanggilku.
"Hm," Hanya deheman singkat yang aku keluarkan sebagai jawaban.
"Lo gak mau cerita-cerita gitu sama gue?"
"Apa yang perlu gue ceritain?"
Suaraku terdengar serak, dan ya, aku malas berdebat dengannya. Aku malas jika mendengarkan dia bercerita tentang gadis barunya. Hatiku panas, aku akan lebih keras kepala dan terkesan menentangnya jika ia terus membicarakan tentang Jelena.
"Tentang cowok yang lo suka, maybe."
"Cowok yang gue suka? Dia cowok bajingan. Selalu nyakitin gue, selalu jadiin gue pelampiasan, selalu buat gue sakit hati, selalu buat gue nangis, dan selalu buat gue rapuh. Anehnya, gue tetep sayang sama dia. Gue tetep cinta walaupun gue tau dia gak cinta sama gue."
"Tinggal aja cowok kek gitu. Asli, greget gue. Bisa-bisanya dia bikin sahabat gue sampai sakit hati." Sadarkah dia bahwa au tengah membicarakannya? Tidak! Dia tak peka.
"Dia yang selalu dicintai namun dia gak tau."
Aku menunduk, menggigit bibirku agar tak mengeluarkan isak tangis. Dia belum juga peka. Dia tak sadar bahwa aku sudah banyak tersakiti oleh sikapnya. Aku berusaha menahan agar aku tau menunjukkan perasaanku di depannya. Biarkan rasa ini kusimpan sendiri bersama lautan kisah-kisah sedih karena perjuangan yang tak kunjung berarti.
"Sebutin nama cowoknya, Ly. Biar gue hajar dia."
"Biarin, Drew. Suatu saat nanti, cepat atau lambat, lo sendiri yang tau. Lo akan tau tanpa gue beri tau. Semua hanya butuh proses."
"Kenapa lo bego banget sih? Dia udah nyakitin lo, Lily! Dia bikin lo nangis."
"Seperti halnya lo yang gak terima saat gue bilang Jelena bukan yang terbaik, gue juga sama. Gue akan tetep sama cowok yang gue sayang."
"Lily, jangan bodoh!"
"Gue bisa, percaya sama gue."
Aku kemudian tersenyum bersama dengan Jelena yang datang menghampiri kami. Aku biarkan saja mereka pergi dengan bergandengan tangan. Toh, kalau memang kami sudah digariskan untuk bersama, dia pasti akan mengerti.
Jika dia bilang dia akan menghajar cowok yang membuatku menangis, seharusnya dia menghajar dirinya sendiri. Dirinya sendiri yang telah melukaiku. Dirinya sendiri yang menyebabkan turunnya air mataku. Dirinya sendiri yang menyebabkan hatiku patah berkali-kali.
Aku hanya berharap pada Tuhan agar dia segera mengerti apa yang aku maksud. Agar dia mengerti bahwa perasanku bukan hanya sekadar simpati, bukan perasaan seorang teman yang hanya ingin menyemangati. Ada hati yang berharap memiliki. Ada hati yang berkali-kali jatuh namun bangkit lagi. Ada hati yang terus tersakiti tanpa dia mengerti. Ada hati rapuh yang ingin merasakan bagaimana mencintai dan dicintai.

~ Dari Lily untuk Andrew.
~ Dari Salsa untuk dia yang tak kunjung peka.
~ Dari Salsa dan Lily untuk mereka yang dicintai namun tak kunjung mengerti.


Karya Salsabila YR - Mojokerto

Post a Comment

0 Comments