Antara Perceraian, Miskin Pengetahuan, dan Konsep TAO Dalam Islam

Kasus perceraian diberbagai kota di Indonesia saat pandemi menjadi salah satu pembahasan yang cukup empuk. Dilansir dari okezone.com, angka perceraian di Cianjur, Jawa Barat meroket. Dalam situs lain ayobandung.com disebutkan selama pandemi Covid-19, angka perceraian di Purwakarta naik. Tidak hanya di dua kota tersebut, bahkan di ibu kota Jawa Tengah juga megalami lonjakan perceraian hingga tiga kali lipat seperti yang disebutkan oleh CNN Indonesia. Garut memiliki nasib yang sama dengan tiga kota lainnya. Hingga bulan Juni 2020, ada 2000 janda baru di Garut. Di Sumedang, per-6 Juli 2020 angka perceraian mencapai 2.294 kasus dengan jumlah persidangan perhari 40 persidangan. Artinya, di kota Sumedang sudah mengalami kenaikan sebanyak 50%. Senasib dengan beberapa kota besar lainnya, Bogor juga mengalami lonjakan perceraian. Penyebabnya serentak, yaitu masalah ekonomi. Hal lain seperti KDRT hanya bersifat insidentil karena sejatinya KDRT sebenarnya tercipta karena masalah ekonomi. Kondisi pandemi memang menimbulkan banyak masalah termasuk rentannya mental para pelaku rumah tangga untuk mempertahankan bahtera rumah tangganya.

Source: News.detik.com

Ironis memang jika melihat angka perceraian yang cukup tinggi. Hal ini bertolak belakang dengan tujuan pernikahan yang tercantum dalam surat Ar-Rum ayat 21 “dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakkan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih saya (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”. Tidak hanya bertentangan dengan agama saja, perceraian bahkan bertentangan juga dengan UU RI Nomor 1 tahun 1974 Bab 1 Pasal 1 yang menyatakan bahwa pernikahan merupakan ikatan antara suami dan istri untuk membentuk suatu kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Janji pada awal pernikahan yang sakral untuk tetap bersama dalam suka maupun duka hanya menjadi majas metafora semata. Sejenak hal yang sifatnya sakralpu berubah menjadi profan.

Dari gencarnya arus perceraian di masa pandemi, hal yang dapat kita lakukan adalah menilik kembali awal proses penciptaan laki-laki dan perempuan. Dalam penelitiannya tentang gender, Sachiko Murata menulis disertasinya tentang “The Tao of Islam”. Ia mencoba meramu filosofi China tentang ajaran Tao yang mencakup Yin dan Yang kemudian mencampurkannya dengan filsafat Islam Ibnu ‘Arabi. Kedua unsur Yin dan Yang di Cina digunakan sebagai penunjuk sifat kekuatan yang saling berhubungan untuk menciptakkan relasi yang saling membangun. Yin diartikan sebagai perempuan yang mengandung arti negatif, pasif, gelap, feminim. Dan Yang identik dengan laki-laki yang bersifat positif, aktif, terang dan maskulin. Hubungan antara keduanya digambarkan dengan gambar hitam putih yang bersatu membentuk suatu lingkaran. Jika dikaitkan dengan teologi ketuhanan tentang sifat Tuhan, Tuhan memiliki sifat feminim dan maskulin. Feminim misalnya Yang Maha Indah, Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang) dan Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), sifat maskulin seperti Al-Malik (Yang Maha Menguasai), Al-Aziz (Yang Maha Berkuasa), Al-Jabbar (Yang Maha Menundukkan segalanya). Dalam relasi nama-nama Tuhan memiliki hubungan yang sama antara faminim dan maskulin sehingga tidak ada perbedaan diantara keduanya. 

Selayaknya Yin dan Yang, relasi antara laki-laki dan perempuan di dalam ikatan pernikahan bukanlah relasi untuk saling menindas, tetapi relasi saling membutuhkan. Seorang perempuan membutuhkan laki-laki, begitu juga sebaliknya. Ibarat langit dan Bumi, langit menurunkan hujan untuk kehidupan yang lebih subur di Bumi. Dan proses-proses terjadinya hujan juga dimulai dari berbagai proses penguapan air laut yang ada di bumi. Jika relasi ini terputus, maka yang terjadi adalah perpisahan. Miskinnya pengetahuan akan relasi antara laki-laki dan perempuan perspektif Islam juga menjadi alasan lemahnya mental para pelaku kehidupan rumah tangga. Dengan itu, perlu adanya epistem sebagai akar pengetahuan sebelum seseorang menikah, salah satunya melalui khutbah pernikahan.

Khutbah nikah merupakan pembekalan bagi pasangan yang menikah dan penyemangat bagi hadirin yang masih belum menikah untuk segera menikah. Ustadz yang berkhutbah sebagai penyalur epistemologipun menjadi fokus mata para mempelai dan tamu yang hadir. Pemilihan ustadz yang berkompeten serta materi yang sesuai dengan kaidah agama Islam yang modernis menjadi kuncinya. Sudah seharusnya, peran ustadz dalam khutbah pernikahan memberikan pemahaman yang ketat akan kesadaran hakikat penciptaan laki-laki dan perempuan. Apabila seorang laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan saling menyadari bahwa antara satu dengan yang lainnya saling membutuhkan, maka angka perceraian dapat menurun. Apabila konsep Tao dalam Islam ini dikaitkan dengan persoalan perekonomian yang sedang mengguncang bahtera rumah tangga, paling tidak seorang perempuan harus menyadari kekurangan pasangannya yang belum bisa menafkahi di masa pandemi. Kerjasama antara keduanya untuk mencari nafkah, bangkit bersama akan mencapai tingkat kesempurnaan.

Biodata Penulis

Nama : Rosi Islamiyati

Pendidikan :
MIM Jambukidul
SMP N 2 Ceper
MAN 2 Klaten
S1 Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
S2 Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pekerjaan : Enterpreuner

Alamat : Gatak RT 03 RW 12, Kujon, Ceper, Klaten

Akun Medsos : FB (Rosi Islamiyati) Twitter (Rosi Islamiyati)

Post a Comment

0 Comments