Perempuan di Ujung Senja || Cerpen

Sumber gambar: Pinterest.com

Kala itu, sosok perempuan berkerudung putih membentangkan tangannya di tepian pantai. Berharap hempasan angin melambat menerpa dirinya. Entah apa yang ada pada pikirannya, ia berjalan kesana kemari sejenak berhenti kemudian berlari. Aisyah nama perempuan itu, wajahnya pasrah namun menyimpan duka. 

Senja menyapa dengan begitu indahnya, akan tetapi tak ada sedikitpun corak bahagia di wajahnya. Tiba-tiba ia terduduk menepi dan menangis. Angannya melambung ke angkasa, tentang wajah senyum serta derita kedua orang tua yang terbunuh dalam tragedi perjalanan menuju rumah Allah. Kenang serta ingatan tak kuasa dibendung dan membuatnya tak mengerti jalan apa lagi yang harus ia tempuh demi asa yang harus ia perjuangkan. 

“Kemana keadilanmu Tuhan?” teriaknya dengan keras, sekeras ia mampu. Sekali lagi “Kemana keadilanmu Tuhan? Semua orang bilang Tuhan adil, tapi kenapa tak ada satupun Engkau sisakan untukku Tuhan?”, terputus kalimatnya pada kata terakhir. Histeris semakin menjadi ketika kalimat itu ia lontarkan. Suaranya tak terlalu keras, tertutup ombak besar yang sesekali mampu menjamah kakinya. 

Ia memukul-mukul dirinya sendiri seolah rasa sakitnya mampu menghilangkan duka yang ia terima, ia telah kehilangan rasa percayanya terhadap kehadiran Tuhan. Ia telah kehilangan Tuhan. Sesekali mata yang terpejam itu terbuka, melihat sudut pantai dalam lingkar bola matanya. Tak ada, tak ada bayangan manusia yang ia tunggu. Tak ada pula satu keajaiban yang terjadi. “Aku sudah bersabar, lalu apa yang terjadi Tuhan? Apa?” katanya sambil mengusap lelehan air mata yang terus mengalir tanpa henti. 

Debur ombak semakin keras menerjang bebatuan, angin terus memberikan rasa dingin pada tubuhnya yang basah karena beberapa kali terjatuh hingga berlumur pasir. Lemas tak berdaya dia dalam duduknya. Tangan yang tak halus menempel pada pundak Aisyah secara tiba-tiba. Wajah paruh baya yang harus menggunakan tongkat untuk berjalan menyapanya. Dipeluknya Aisyah bersimpuh menunggu nasehat yang akan diberikan oleh Nek Ijah. Tetangga ramah yang selalu menyuguhkan sepotong bolu coklat di setiap hari minggu kepada beberapa tetangganya. 

“Kau tak akan meninggalkan Tuhanmu karena kau ditinggal pergi orang tua mu kan nduk?” tanya perempuan paruh baya itu. 

“Ketika aku mencintai Tuhan, Tuhan menjauhkan aku sejauh-jauhnya dari orang yang aku cintai. Lantas apa nek yang harus aku perjuangkan? Apa aku harus ikhlas begitu saja? Manusia mana yang tidak berontak terhadap ketetapan Tuhan yang seperti ini?” Aisyah bersuara dalam isaknya. 

“Istigfarlah nduk, memohonlah ampun kepada-Nya, kembalilah ke jalan Tuhanmu dan jangan kau ragu atas ketentuan-Nya” tambah nek Ijah. 

Sambil melepas pelukannya dan memalingkan muka Aisyah menjawab, “Semua Ia minta tanpa membiarkan aku bernafas lega. Ia ambil semuanya seketika.” 

Kembali dibelai kepala Aisyah. “Nduk, Tuhan sebegitu sayang padamu, Tuhan menyayangimu dengan setulusnya. Ikhlaskan kepergian orangtuamu. Ingat orangtuamu tak pernah mengajarkanmu lari dari jalan Tuhanmu. Tidak pernah!” 

“Lalu apa lagi yang akan diminta kembali nek? Apa lagi!”, tambahnya dalam isakan. 

Terlihat sore telah berganti, adzan berkumandang bersahutan dengan suara khas pantai yang tiada henti bersenandung sedari tadi. Apa yang ada dalam pikiran Aisyah terus membuatnya bingung, membicarakan tentang hati dan logikanya yang tak senada. Ini wujud cobaan yang seperti apa? Mengapa dia begini? Mengapa? 

Kembali dilabuhkan badan yang lemas dalam peluk nek Ijah, sambil berjalan nek Ijah berkata, “Kau tahu nduk? Allah itu welas asih. Tidak mungkin Tuhanmu memberikan cobaan diluar batas mampu mu. Jangan kamu anggap semua cobaan adalah derita bagimu. Tuhan menyayangi orang tuamu nduk” 

Isakan yang histeris terhenti seketika, Aisyah mengingat banyak nasehat abahnya disaat itu, mengingat berbagai kalimat lembut ibunya dan mengingat kehangatan adiknya yang masih membutuhkan dukungannya. “Nek, Apakah Allah masih mengampuni dosaku, ketika aku tak lagi percaya dan iman pada ketetapan-Nya?” 

Perempuan tua itu menjawab, “Tuhanmu Maha Pengampun nduk. Taubatlah. Dan jangan lagi kamu kehilangan Tuhan. Jangan pernah. Orang tuamu butuh doa dari anak-anaknya.” 

Bersimpuh kembali Aisyah dalam rasa sesal hampir pergi melupakan Tuhan, sebentar memang tapi saat yang sebentar itu ia benar-benar lupa pada Keagungan Tuhan. Ia berdiri, merangkul Nek Ijah dan menopang tubuh lemasnya. Ia kembali berjalan menuju rumah duka. Dan lafal istigfar tak berhenti ia ucapkan, hingga sesampainya di depan pintu, Aisyah membuka mata bahwa ini kenyataannya dan bukan salah siapa-siapa, inilah ketetapan-Nya. Bersujud serta berdoa ia atas kesalahannya, demi ampunan-Nya. Dalam tulus doanya, ia menyisipkan kalimat tak akan lagi pergi dan lalai dari-Nya yang tak pernah meninggalkannya.

Post a Comment

0 Comments