Aku Siapa dan Aku Bisa Apa II Cerpen

Sumber gambar: Doc pribadi

​Senja di ufuk taruh, alunan melodi nan indah dengan gemercik hujan, seolah menjadi penawar bagi setiap insan merindu. Hanya menjadi sebuah ilusi di kala itu. Ku awali harinan nampak jelas fajar yang telah menjemputku, aku yang harus bergegas sedia kala dalam menjalani keinginan merenggut cinta kasih-Mu.

​Ku tapakkan kaki menuju rumah-Mu kala itu, melihat ribuan orang memadati di sekelilingku. Aku merasa kecil dihadapan-Mu, entah ku tak tahu siapa aku. Masihkah raga menikmati alam semesta dengan menghirup udara setiap saat, jam, menit ataupun detik? Yang terselip dibenakku.

​Termenung di sudut pintu 22 dengan mengambil segelas air suci-Mu dengan ditemani seorang Pakistan dalam dudukku. Kerutan diwajahnya yang nampak jelas, tubuh kekar dan kuat usia yang tak muda lagi, aku dapat menyapanya dengan sebutan nama Jamilah. Pembicaraan diawali dengan pertanyaan singkat. “where’re you from?”, Tanya Jamilah kepadaku. Setelah melalui perbincangan yang sangat panjang, dan beliau pun menceritakan keadaan di negaranya.

​Negara Pakistan pun tak lantas negara maju yang telah terlihat pada pandanganku. Dibalik semua cerita seorang yang telah berbincang denganku, negara Pakistan lebih mengedepankan pada agamanya yang telah menjadi sorotan di negaranya. Setiap kejanggalan yang ada pada agama selalu diperbincangkan dengan sistem demokratis, anak-anak disanapun diwajibkan untuk menuai ilmu dengan menulis sebuah karya pujangga arab, dan tak lain halnya perlu ditekankan pada setiap anak mengahafal setiap kalam Allah. Aku merasa malu mendengar cerita dikala itu.

​Ketika itu Jamilah sempat menanyakan keadaan negara Indonesia. Menurut pandangan Jamilah Indonesia mempunyai sejuta keindahan ciptaan tuhan, terutama yang beliau ketahui daerah Bali. “Saya sangat bangga dengan orang Indonesia, termasuk kamu. Perihal, usia semuda kamu masih memperhatikan akan agama.”, tuturnya dengan versi Indonesia. “Aku bukan siapa-siapa bu, aku hanya seorang yang banyak berlumur dosa.” , jawabku dengan pandangan haru. “Sungguh beruntung sekali kau telah merasakan dikala usia mudamu. Di negara saya, walaupun lebih dominan mengedepankan pada agama dan kedemokratisan, akan tetapi tidak dapat terwujud sedemikian rupa.”, terangnya dengan versi Indonesia. “kok dapat tidak terwujud?”, tanyaku dengan heran. “Di negara saya kini telah mulai luntur akan perhatian dengan agama. Akan tetapi, di daerah saya, kota yang penuh dengan orang-orang yang sangat memperhatikan agama. Seperti halnya, setiap anak kecil berusia 5 tahun diperkenalkan tentang kalam Allah dan diajarkan tentang metode hafal kalam Allah.”, menerangkan dengan rasa malu. “Apalah daya saya, bu. Saya sangat merasa malu akan hal itu. Walaupun di kota ibu, akan tetapi itu kan masih kawasan Pakistan. Sangat senang mendengarkan akan hal itu, subhanallah.”, jawabku.

Asyiknya perbincangan diantara kita, tak terasa jarum jam menunjukkan pukul 9 pagi, sampai membuatnya lupa akan janji bersama temannya. Beliau telah mengingat akan janjinya, kemudian beliau berpamitan denganku. Perbincangan terakhir, diakhiri dengan bertukaran nomer whatsapp antara satu dengan yang lain.

Aku melanjutkan perjalanan dengan mengelilingi halaman masjid. Aku melihat kerumunan jutaan manusia dari penjuru dunia, berkumpul menjadi satu. Perasaanku yang tak menentu, dan aku merasakan malu. Jutaan manusia yang ingin berlomba keridhoan Allah, banyaknya usia tua yang tak patah semangatnya untuk menuju kemenangan keridhoan-Nya.

Di saat aku memasuki roudhoh (taman surga makam Rasulullah), aku merasa tak pantas memasukinya. Banyak usia tua yang tak patah semangat hanya ingin menjemput kerinduan dengan Rasulullah. Ketertiban pun terus dilakukan, karena ketidakaturan dengan berebutnya setiap orang untuk memasukinya. Aku sempat bebincang sejenak dengan seorang azkar (polisi yang mengatur dalam masjid), azkar tersebut bertanya padaku dengan memandangku penuh kelembutan, “Sang pemuda kemarilah ikut bersamaku.” Aku pun menjawab dengan menganggukkan kepalaku. Azkar itu mengajakku pada sebuah tempat, dan aku pun terkejut dengan bangunan itu yang terbangun dengan lapisan emas yang menakjubkan. Azkar menyuruhku berdo’a sepuas-puasnya di kalangan itu.

Sumber gambar : Pinterest.com

Usut punya usut, azkar menceritakan kepadaku setelah kita keluar dari kalangan itu. “Aku melihatmu seorang pemuda yang penuh kecanduan ibadah. Maka dari itu, kau ku berikan jalan khusus untuk menuju roudhoh.” Katanya dengan versi Indonesia. “Masyaallah, terimakasih engkau telah membantuku dari kerumunan orang-orang yang berebut memasukinya.” Jawabku dengan memeluknya. “Iya sama-sama. Yang perlu kau ketahui, bahwasanya yang kau masuki tadi adalah persis di depan pintu makam Rasulullah dan di sebelahnya makam para sahabatnya.” Dia memberitahuku. “Subhanallah, Masyaallah.” Aku tak dapat berkata-kata lagi dengan mata berkaca-kaca. “Kau sangat beruntung. Jika kau melewati jalan seperti orang-orang kau hanya dapat berdo’a dan sholat di luar makam Rasulullah. Selain itu, kau tak dapat memuaskan do’a mu dan melepaskan kerinduanmu kepada Rasulullah”, tuturnya.

Rintikan hujan dengan bisikan udara manja membuat buluku berdiri. Pandangan kabur dalam perjalanan pulang menuju hotel hanya seorang diri. Sunyinya kota mulai terasa dengan tanpa adanya kendaraan yang melewati. Ku cepatkan langkah kakiku dalam perjalanan kala itu, sambil terselip di benakku dengan apa yang telah terjadi kepadaku. Waktu mengabarkan kepadaku, kejadian lalu telah terbalaskan oleh pemberian Sang Pencipta kisah kehidupanku.

Aku tak habis pikir dengan pandangan orang kepadaku. Aku hanya dapat bersyukur dengan semua kejadian yang telah menghiasi hari-hariku. Keajaiban demi keajaiban pun menguak satu per satu. Keadaan menjadi begitu indah pada kala itu, akan tetapi prinsip yang ada pada diriku takkan ku lepaskan. Rendah hati yang selalu ku tanamkan, dan merasa aku itu siapa dan aku dapat melakukan apa yang selalu dalam benakku dan menjadikan titik tumpuan kehidupanku. Aku hanya manusia biasa yang tak bisa apa-apa, yang selalu menuruti hawa nafsuku. Rasanya keajaiban Allah yang telah diberikan dalam hari-hari kumasih diluar nalarku, aku hanya dapat mensyukuri yang telah diberikan-Nya padaku.

Sikap manisku yang selalu ku tebarkan kepada setiap orang seakan-akan mengelabui pandangan mereka. Tangan nakalku yang tak pantas untuk berjabatan kepada mereka, terlalu kotor yang penuh dengan dosa. Ucapan dan celotehan yang tak pantas dituturkan, itu menjadi andalan dalam cakapanku. Pandangan setiap orang pun terhadapku berbeda-beda. Jika yang menganggapku dari sisi kebaikan, jangan salahkan ketika mengetahui tentangku dalam ekspektasi keburukan yang melekat dalam diriku. Apalah dayaku, aku bukan anak pejabat, aku pun bukan anak kyai dan orang terpandang, aku bukan orang suci, aakan tetapi aku orang sok suci. Orang yang selalu menganggapku dengan penuh kesucian itu hanyalah anggapan dan khayalan belaka, inilah aku.

Post a Comment

1 Comments