Clockwork is like a symphony in my opinion. Silent and attentive. Shut up, I can only be quiet when everyone denigrates me. Of the many people at school, maybe no one likes me. Mereka selalu bilang orang yang tidak bisa bicara sepertiku tidak pantas untuk bergaul dengan siapapun. Aku tahu aku tidak sempurna, bahkan aku jauh dari sempurna. Poor, ugly, and mute, all I can count on is my intelligence. It was proven by my acceptance in this favorite school with a scholarship because of my great grades.
Senang, namun juga sedih, karena di sekolah ini aku tidak pernah benar-benar diterima. Dari ratusan siswa, mungkin hanya aku yang selalu sendiri. Menyendiri dalam keheningan. Cibiran dari mereka yang selalu menghinaku menyapa telingaku setiap harinya, membuatku merasa jengkel. Scolding and swearing was repeatedly thrown at me. Did not care in the slightest about my feelings as a human with reason and feelings. Like an animal that is only silent when scolded.
Success, that's what I'm looking for. Namun sekarang terasa, kesuksesan itu hanya bayang-bayang semu bagiku. Kesuksesan bagaikan langit dan aku adalah buminya. Sangat sulit bahkan hanya untuk menyentuhnya.
Hening dan sunyi. Aku duduk di depan sebuah loker. Memandang cahaya matahari yang muncul dari sela-sela tirai jendela yang belum dibuka. Memikirkan apa yang harus aku lakukan setelah ini, menghadapi orang-orang yang selalu mencelaku. Suara tetesan air hujan yang beradu di luar sana terdengar jelas. Kutatap langit yang kelam, menggambarkan bagaimana perasaanku saat ini. Baru saja mereka merusak buku-bukuku. Indeed, only used books, I can not buy a new book because to eat it alone, it has been difficult for me. Ku buka sebuah buku yang satu-satunya masih baru dan kutulis sesuatu di dalamnya.
Air mata terus menetes ditengah kesedihanku. Kucoba untuk berdiri dan kembali ke kelas. Guru Biologi yang terkenal galak itu sudah mulai mengajar. Beberapa orang di belakang sana memperhatikanku dengan tatapan tajam penuh kebencian. "Where are you Nin?" I looked down, of course I could not say anything because I was mute. "Maybe she skipped." said a girl with sharp eyes in the corner, the teacher immediately looked at me.
“Nin. Kali ini ibu memaafkanmu. Cepat duduk dan buka bukumu.” ucapnya. Aku lalu berjalan menuju kursiku, untungnya kali ini aku dibebaskan dari hukuman. Di mejaku terdapat banyak coretan yang berasal dari tangan jahil teman-temanku. Tidak, mereka bukan teman. They are the people who are hostile to me. Kuambil buku dari tasku dan kubuka. Tak kusangka bukuku basah. Tulisannya pun sudah tak terbaca.
Sesak rasanya membayangkan apa yang mereka lakukan, apa lagi yang akan mereka lakukan setelah ini padaku. Mulai dari mengejekku di awal semester, merusak barang-barangku, menyakitiku, dan bahkan mungkin mereka akan membunuhku nantinya. Aku menatap ke luar, menyaksikan air-air hujan turun ke bumi. Kapan aku bisa jadi seperti hujan? Berjalan lurus untuk mencapai tujuan tanpa ada halangan. Menembus semua yang menghalangi jalannya. Dengan percaya diri dan tidak takut akan apapun terus berjalan sampai akhirnya, jatuh ke tanah. Kuhela napasku, dan kuperhatikan guruku yang sedang menulis satu per satu huruf di papan tulis putih yang mengkilat itu.
THE NEXT DAY
“Nindhi. Bawa bekalmu. Ibu sudah menyiapkannya.” ucap ibuku, seorang wanita yang sederhana, lembut, dan sabar. Tak pernah sedikit pun beliau mengajarkanku untuk membalas orang-orang yang jahat padaku. I put a little smile on my face while putting stock containing white rice and a few pieces of tempeh and tofu in it. I didn't bring any allowance because of our mediocre conditions. My mother is a street vendor and my father works somewhere.Dia tidak pernah kembali sejak dia pergi sepuluh tahun yang lalu. Ibuku bilang dia akan kembali nanti. Mungkin dulu aku mempercayainya, namun sekarang aku tahu kalau ayahku tidak akan kembali ke sini lagi. Aku menghela napasku dan menngucapkan salam dengan isyarat pada ibuku lalu berangkat ke sekolah.
Aku melangkahkan kakiku menyusuri bagian belakang sekolah, aku selalu masuk lewat jalan belakang. Aku tidak ingin bertemu dengan orang-orang itu. Rasa takut membayang-bayangiku ketika mereka berada di depanku. Aku yakin, mereka akan melakukan sesuatu padaku ketika mereka bertemu denganku. Aku bagaikan bersekolah di neraka. Neraka yang mereka ciptakan untukku, hanya untukku karena aku miskin dan cacat.
Kualihkan pandanganku ke depan. Tak kusangka mereka berada di depanku. “Hi.” ucap salah satu gadis bernama Winda, rambutnya lurus dan panjang, dengan aksesoris-aksesoris mewah di tubuhnya, mulai dari kalung, gelang, cincin dan lain-lainnya. Dia kaya dan punya segalanya, termasuk kedua temannya itu dibelinya dengan uang. Lagi-lagi aku bingung, bagaimana aku harus menghadapi mereka hari ini.
Di depan orang saja mereka berani menyakitiku, apalagi saat aku sendiri di sini. “Nindhi. Kalau dipanggil jawab donk!” bentaknya. “Oh kamu lupa ya Win. Dia kan bisu, haha.” ucap temannya Salsabila. “Oh iya lupa.” ucap Winda lalu mendekatiku dan menjambak rambutku. Sakit, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Berbicara pun aku tidak bisa. Itu mempersulitku karena tidak bisa memanggil orang-orang untuk menolongku. Jika aku bisa memanggil mereka pun, mungkin dan pasti tidak ada yang peduli padaku.
Mereka lalu mulai mulai mengambil tasku dan menuangkan barang-barang yang ada di dalamnya. “Semuanya barang bekas. Oh My God. Ayo pergi.” ucap Winda pada temannya. Aku perlahan-lahan mengambil barang-barangku yang sudah berhamburan di tanah. I took my books and pencil case and put them back in my bag. I saw the provisions that my mother had painstakingly prepared scattered on the ground. Aku mulai menangis lagi, kenapa aku yang menjadi korbannya? Aku ingin pindah dari sini, namun aku tidak punya cukup uang untuk pindah ke sekolah baru.
Jam Istirahat.
Kucoba membuka bekalku hari ini. Isinya sudah bercampur dengan pasir. Perutku terasa sangat lapar. Aku hanya bisa menatap mereka yang makan di kelasku. Tahan, aku harus menahan rasa lapar ini. Kudengar suara langkah kaki semakin dekat dan mengarah ke arahku. “Anak satu ini tidak makan yah? Haha orang misikin sepertimu, kasihan sekali.” ucap Winda.
Aku terus menahan rasa kesal, takut, dan sedihku. Kulihat Selly temannya Lynda mulai mengeluarkan sebuah gunting. “Rambutmu panjang, hitam, dan tebal. Kau tidak akan punya uang untuk merawatnya. Aku bisa membantumu.” ucapnya. Salsabila menarik rambutku dan Nindhi yang mengguntingnya. Aku ingin sekali berteriak, namun tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Little by little my hair fell to the floor. There is no sense of regret and pity felt by those who treat me like that. After successfully cutting my hair, they then laughed with satisfaction and pushed me to the ground.
Kulihat potongan-potongan rambutku yang berserakan di lantai. Kuambil dan kuraba rambutku yang sekarang. Pendek dan berantakan. Lagi-lagi aku hanya menangis. Bahkan tidak ada satupun orang yang kasihan padaku. Mereka hanya melihatku diperlakukan seperti itu dan setelah semuanya selesai, mereka kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Kulihat mereka bertiga sedang bersenang-senang. Aku dengar mereka sedang membicarakanku. “Rambutnya. Haha setelah ini apa lagi yang harus kita lakukan padanya?” tanya Salsabila. “Lihat saja nanti.” ucap Winda sambil menghela napasnya. Aku menatap mereka dengan tatapan penuh kebencian. “Oh dia di sana. Wah ada apa dengan tatapannya itu?” tanya Nindhi. “Entahlah. Ayo pergi!” ucap Winda.
At night
“Bu. Permisi ke toilet.” ucap Nindhi. Tepat, saat ini saatnya untuk aku keluar. Kutatap kursi-kursi tak berpenghuni di belakangku, beberapa orang tidak masuk, tentunya itu mempermudah seluruh rencana yang telah kususun. Aku mengangkat tanganku dan menuliskan beberapa kalimat. “Aku tidak enak badan, boleh aku ke UKS?” tanyaku dari kertas itu. “Pergilah.” ucap guruku. Aku berjalan keluar dan dengan senang hati mengikuti NIndhi. Rasa takutku hilang, bak mentari ditelan senja.
Kuambil pisau dan kudekati dia saat sudah berada di dalam toilet. “Kenapa kau ke sini?” tanyanya padaku. Aku tersenyum, entah kenapa aku merasa sangat senang. Aku mendekatinya perlahan untuk membuatnya takut. He got more scared and pushed me. "Go! Deformed girl. " he said. Hearing that, I took my knife and stabbed him in the stomach.
Darah segar menetes ke lantai saat aku mencabut pisaunya. Melihat itu sungguh membuatku sangat bergairah dan bersemangat. Baru kusadari hal itu sangat menyenangkan. Menyaksikan orang yang kubenci mati di depanku. Kulihat Selly belum mati, ia masih berdiri dan menatap ke arahku. Kudekati dia dan kugoreskan pisau pada wajahnya yang cantik itu.
This makes me even more excited. This is my life, a life full of freedom. I saw the girl who was originally very beautiful became very ugly. Mulutnya ***** sampai ke telinga. Bajunya yang awalnya putih menjadi merah penuh dengan darah. Lantai yang putih bersih menjadi kotor. Dia kejang-kejang, kelihatnya sangat kesakitan. Tak lama kemudian dia berhenti bergerak dan aku pun bergegas keluar sambil tersenyum puas.
News of Nindhi's death will surely spread widely. There is no evidence, nor CCTV in the area around the toilet. This makes me very happy. I opened Nindhi's locker with the key I took from her shirt pocket and took the cellphone.
Depok, 19 September 2020
Senang, namun juga sedih, karena di sekolah ini aku tidak pernah benar-benar diterima. Dari ratusan siswa, mungkin hanya aku yang selalu sendiri. Menyendiri dalam keheningan. Cibiran dari mereka yang selalu menghinaku menyapa telingaku setiap harinya, membuatku merasa jengkel. Scolding and swearing was repeatedly thrown at me. Did not care in the slightest about my feelings as a human with reason and feelings. Like an animal that is only silent when scolded.
Success, that's what I'm looking for. Namun sekarang terasa, kesuksesan itu hanya bayang-bayang semu bagiku. Kesuksesan bagaikan langit dan aku adalah buminya. Sangat sulit bahkan hanya untuk menyentuhnya.
Hening dan sunyi. Aku duduk di depan sebuah loker. Memandang cahaya matahari yang muncul dari sela-sela tirai jendela yang belum dibuka. Memikirkan apa yang harus aku lakukan setelah ini, menghadapi orang-orang yang selalu mencelaku. Suara tetesan air hujan yang beradu di luar sana terdengar jelas. Kutatap langit yang kelam, menggambarkan bagaimana perasaanku saat ini. Baru saja mereka merusak buku-bukuku. Indeed, only used books, I can not buy a new book because to eat it alone, it has been difficult for me. Ku buka sebuah buku yang satu-satunya masih baru dan kutulis sesuatu di dalamnya.
Air mata terus menetes ditengah kesedihanku. Kucoba untuk berdiri dan kembali ke kelas. Guru Biologi yang terkenal galak itu sudah mulai mengajar. Beberapa orang di belakang sana memperhatikanku dengan tatapan tajam penuh kebencian. "Where are you Nin?" I looked down, of course I could not say anything because I was mute. "Maybe she skipped." said a girl with sharp eyes in the corner, the teacher immediately looked at me.
“Nin. Kali ini ibu memaafkanmu. Cepat duduk dan buka bukumu.” ucapnya. Aku lalu berjalan menuju kursiku, untungnya kali ini aku dibebaskan dari hukuman. Di mejaku terdapat banyak coretan yang berasal dari tangan jahil teman-temanku. Tidak, mereka bukan teman. They are the people who are hostile to me. Kuambil buku dari tasku dan kubuka. Tak kusangka bukuku basah. Tulisannya pun sudah tak terbaca.
Sesak rasanya membayangkan apa yang mereka lakukan, apa lagi yang akan mereka lakukan setelah ini padaku. Mulai dari mengejekku di awal semester, merusak barang-barangku, menyakitiku, dan bahkan mungkin mereka akan membunuhku nantinya. Aku menatap ke luar, menyaksikan air-air hujan turun ke bumi. Kapan aku bisa jadi seperti hujan? Berjalan lurus untuk mencapai tujuan tanpa ada halangan. Menembus semua yang menghalangi jalannya. Dengan percaya diri dan tidak takut akan apapun terus berjalan sampai akhirnya, jatuh ke tanah. Kuhela napasku, dan kuperhatikan guruku yang sedang menulis satu per satu huruf di papan tulis putih yang mengkilat itu.
THE NEXT DAY
“Nindhi. Bawa bekalmu. Ibu sudah menyiapkannya.” ucap ibuku, seorang wanita yang sederhana, lembut, dan sabar. Tak pernah sedikit pun beliau mengajarkanku untuk membalas orang-orang yang jahat padaku. I put a little smile on my face while putting stock containing white rice and a few pieces of tempeh and tofu in it. I didn't bring any allowance because of our mediocre conditions. My mother is a street vendor and my father works somewhere.Dia tidak pernah kembali sejak dia pergi sepuluh tahun yang lalu. Ibuku bilang dia akan kembali nanti. Mungkin dulu aku mempercayainya, namun sekarang aku tahu kalau ayahku tidak akan kembali ke sini lagi. Aku menghela napasku dan menngucapkan salam dengan isyarat pada ibuku lalu berangkat ke sekolah.
Aku melangkahkan kakiku menyusuri bagian belakang sekolah, aku selalu masuk lewat jalan belakang. Aku tidak ingin bertemu dengan orang-orang itu. Rasa takut membayang-bayangiku ketika mereka berada di depanku. Aku yakin, mereka akan melakukan sesuatu padaku ketika mereka bertemu denganku. Aku bagaikan bersekolah di neraka. Neraka yang mereka ciptakan untukku, hanya untukku karena aku miskin dan cacat.
Kualihkan pandanganku ke depan. Tak kusangka mereka berada di depanku. “Hi.” ucap salah satu gadis bernama Winda, rambutnya lurus dan panjang, dengan aksesoris-aksesoris mewah di tubuhnya, mulai dari kalung, gelang, cincin dan lain-lainnya. Dia kaya dan punya segalanya, termasuk kedua temannya itu dibelinya dengan uang. Lagi-lagi aku bingung, bagaimana aku harus menghadapi mereka hari ini.
Di depan orang saja mereka berani menyakitiku, apalagi saat aku sendiri di sini. “Nindhi. Kalau dipanggil jawab donk!” bentaknya. “Oh kamu lupa ya Win. Dia kan bisu, haha.” ucap temannya Salsabila. “Oh iya lupa.” ucap Winda lalu mendekatiku dan menjambak rambutku. Sakit, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Berbicara pun aku tidak bisa. Itu mempersulitku karena tidak bisa memanggil orang-orang untuk menolongku. Jika aku bisa memanggil mereka pun, mungkin dan pasti tidak ada yang peduli padaku.
Mereka lalu mulai mulai mengambil tasku dan menuangkan barang-barang yang ada di dalamnya. “Semuanya barang bekas. Oh My God. Ayo pergi.” ucap Winda pada temannya. Aku perlahan-lahan mengambil barang-barangku yang sudah berhamburan di tanah. I took my books and pencil case and put them back in my bag. I saw the provisions that my mother had painstakingly prepared scattered on the ground. Aku mulai menangis lagi, kenapa aku yang menjadi korbannya? Aku ingin pindah dari sini, namun aku tidak punya cukup uang untuk pindah ke sekolah baru.
Jam Istirahat.
Kucoba membuka bekalku hari ini. Isinya sudah bercampur dengan pasir. Perutku terasa sangat lapar. Aku hanya bisa menatap mereka yang makan di kelasku. Tahan, aku harus menahan rasa lapar ini. Kudengar suara langkah kaki semakin dekat dan mengarah ke arahku. “Anak satu ini tidak makan yah? Haha orang misikin sepertimu, kasihan sekali.” ucap Winda.
Aku terus menahan rasa kesal, takut, dan sedihku. Kulihat Selly temannya Lynda mulai mengeluarkan sebuah gunting. “Rambutmu panjang, hitam, dan tebal. Kau tidak akan punya uang untuk merawatnya. Aku bisa membantumu.” ucapnya. Salsabila menarik rambutku dan Nindhi yang mengguntingnya. Aku ingin sekali berteriak, namun tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Little by little my hair fell to the floor. There is no sense of regret and pity felt by those who treat me like that. After successfully cutting my hair, they then laughed with satisfaction and pushed me to the ground.
Kulihat potongan-potongan rambutku yang berserakan di lantai. Kuambil dan kuraba rambutku yang sekarang. Pendek dan berantakan. Lagi-lagi aku hanya menangis. Bahkan tidak ada satupun orang yang kasihan padaku. Mereka hanya melihatku diperlakukan seperti itu dan setelah semuanya selesai, mereka kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Kulihat mereka bertiga sedang bersenang-senang. Aku dengar mereka sedang membicarakanku. “Rambutnya. Haha setelah ini apa lagi yang harus kita lakukan padanya?” tanya Salsabila. “Lihat saja nanti.” ucap Winda sambil menghela napasnya. Aku menatap mereka dengan tatapan penuh kebencian. “Oh dia di sana. Wah ada apa dengan tatapannya itu?” tanya Nindhi. “Entahlah. Ayo pergi!” ucap Winda.
At night
“Bu. Permisi ke toilet.” ucap Nindhi. Tepat, saat ini saatnya untuk aku keluar. Kutatap kursi-kursi tak berpenghuni di belakangku, beberapa orang tidak masuk, tentunya itu mempermudah seluruh rencana yang telah kususun. Aku mengangkat tanganku dan menuliskan beberapa kalimat. “Aku tidak enak badan, boleh aku ke UKS?” tanyaku dari kertas itu. “Pergilah.” ucap guruku. Aku berjalan keluar dan dengan senang hati mengikuti NIndhi. Rasa takutku hilang, bak mentari ditelan senja.
Kuambil pisau dan kudekati dia saat sudah berada di dalam toilet. “Kenapa kau ke sini?” tanyanya padaku. Aku tersenyum, entah kenapa aku merasa sangat senang. Aku mendekatinya perlahan untuk membuatnya takut. He got more scared and pushed me. "Go! Deformed girl. " he said. Hearing that, I took my knife and stabbed him in the stomach.
Darah segar menetes ke lantai saat aku mencabut pisaunya. Melihat itu sungguh membuatku sangat bergairah dan bersemangat. Baru kusadari hal itu sangat menyenangkan. Menyaksikan orang yang kubenci mati di depanku. Kulihat Selly belum mati, ia masih berdiri dan menatap ke arahku. Kudekati dia dan kugoreskan pisau pada wajahnya yang cantik itu.
This makes me even more excited. This is my life, a life full of freedom. I saw the girl who was originally very beautiful became very ugly. Mulutnya ***** sampai ke telinga. Bajunya yang awalnya putih menjadi merah penuh dengan darah. Lantai yang putih bersih menjadi kotor. Dia kejang-kejang, kelihatnya sangat kesakitan. Tak lama kemudian dia berhenti bergerak dan aku pun bergegas keluar sambil tersenyum puas.
News of Nindhi's death will surely spread widely. There is no evidence, nor CCTV in the area around the toilet. This makes me very happy. I opened Nindhi's locker with the key I took from her shirt pocket and took the cellphone.
Depok, 19 September 2020
By: Cexie Alleta Vleya
0 Comments