Candy || Cerpen

Sumber gambar: Pinterest.com


Aku menggeser sedikit posisi dudukku begitu seseorang terlihat ingin duduk juga di bangku taman kota yang sudah kududuki selama hampir dua jam ini.

Aku menghela nafas panjang. Dimana Mark? Bagaimana bisa ia telat datang se-lama ini? Padahal tadi siang dia yang mengajakku ketemuan secara dadakan di taman kota jam dua sore dan --astaga, sekarang sudah jam empat sore. Dimana dia sebenarnya?

Lalu fokusku teralih begitu satu dentingan suara menguar dari smartphone-ku yang sedari tadi kugenggam.

Satu pesan, dari Mark.

"Maaf aku tak bisa datang. Aku cuma ingin ngomong aja, kalau aku ngakhirin hubungan kita karna jujur, sebelum kita pacaran, aku sudah tunangan sama orang lain. Terimakasih, dan maaf."

Hatiku tertohok, dan jiwaku terasa hilang sesaat.

Bagaimana bisa Mark melakukan hal keji ini padaku?

Aku benar-benar _shock_, dan air mata mengumpul begitu saja di ujung mataku. Aku mencoba menelfon Mark, tapi nihil, dia malah mematikan panggilanku.

Kudongakkan kepala guna mencegah jatuhnya air mataku, meski sia-sia karena cairan sialan itu tetap saja jatuh dan mengukir jalan di pipiku.

"Ya Tuhan ...," lirihku seraya menangkup wajahku dengan sepasang tanganku, menyembunyikan tangisku.

Lalu aku menarik nafas dan menghembuskannya secara teratur, tak ingin menangis lagi. Cukup sudah.

Kubuka tasku, lalu aku meraih tisu di dalamnya, dan segera mengusapkannya di pipiku juga mataku.

Untuk apa menangisi bajingan?

Setelah bersih dari bekas air mata, aku hanya berdiam diri, berusaha mengeringkan luka yang baru saja kudapat di palung hatiku. Wajah tanpa ekspresiku menghadap lurus ke depan, ingin memandang kosong, namun secara tak sengaja melihat sekumpulan anak yang bermain kejar-kejaran hingga memecahkan rencana melamunku. Sampai terdapat tepukan pelan satu tangan di bahuku bahuku, yang akhirnya menyadarkanku bahwa sedari tadi di sampingku terdapat eksistensi orang lain.

Aku menolehkan kepalaku dan kudapati dia sedang mengulurkan tangannya, memberiku sebuah permen.

Untuk sekedar menghargainya, aku menerimanya. "Terima--" Dan kalimatku terputus saat dengan tak sengaja netraku membaca sebuah kata kecil di bungkus permen itu yang bertuliskan, "smile :)"

Aku menolehkan kepala, dan kulihat pria ini menyuguhkan senyum padaku. Jadi, dengan seulas senyum juga, aku kembali berterimakasih padanya.

Lalu dia mengulurkan tiga permen sekaligus padaku, dan dengan keheranan aku menerimanya, juga membaca kata-kata singkat di bungkus permen itu seperti yang kulakukan sebelumnya.

_"Hai."_
_"Will you be mine?"_
_"Just Kidding :D"_

Aku terkekeh kecil begitu selesai membacanya.

"Omong-omong, nama kamu siapa?" Pria itu bertanya padaku.

"Ah, namaku Allula."

Lalu dia mengulurkan tangannya padaku, hendak berjabatan tangan. "Namaku Lucas. Salam kenal ya."

Aku menanggapinya dengan tersenyum.

"Eum, btw, aku sedari tadi duduk disini karena tersesat," ujarnya cengengesan. Dan aku melongo.

"Hah?" cengoku.

Dia menganggukkan kepalanya, lalu menunjukkan ponsel pintarnya padaku yang _lowbat._

"Kasihan sekali, kau. Lalu kenapa tak cari bantuan sejak tadi? Kau tak membawa alamatnya?" tanyaku sejurus kemudian, dan ia malah tertawa lepas. Membuat kadar ketampanannya makin bertambah. Dan aku kebingungan, tak tau apa yang lucu dari kalimatku barusan.

"Ah, tidak, tidak. Aku membawa alamatnya, kok."

"Lah? Kamu bisa nunjukin alamat itu ke sopir taksi atau bus, dan kamu bisa sampai deh ke alamat yang mau kamu tuju."

Dia tersenyum geli, lalu berucap, "iya, aku tau. Aku cuma ingin bernostalgia saja disini. Aku lahir dan besar disini sampai berumur sebelas tahun, lalu akhirnya pindah ke China dan kembali lagi sekarang karena ingin kuliah disini."

"Oh, begituuu. Terus, kau lupa alamat rumahmu yang dulu, begitu?"

Dia menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Sudah sekitar sepuluh tahun yang lalu sejak aku tinggal disini, tentu saja aku lupa. Pasti banyak yang berubah juga."

Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. Tanpa sadar, tanganku membuka salah satu bungkus permen darinya, dan mulai memakannya.

Sejenak, aku lupa bahwa beberapa menit yang lalu, hal menyedihkan menimpaku, hanya karena perbincanganku dengan pria yang beberapa saat tadi kukenal --si Lucas.

"Kau sendiri? Eum, aku dari tadi melihatmu duduk disini cukup lama, selama berjam-jam, sampai akhirnya aku memutuskan untuk duduk disini juga. Bukannya apa, tapi tempat ini benar-benar menyimpan banyak kenangan bagiku. Aku tadinya berniat menunggumu pergi, tapi kau tak kunjung pergi." Tak ada nada menyindir dalam kalimatnya.

"Kekasihku --Eum, sekarang statusnya mantan kekasihku-- mengajakku bertemu disini. Dan asal kau tahu, dia malah batal datang dan mengirimiku pesan singkat berisi pemutusan hubungan secara sepihak."

Dia tertegun. Lucu sekali melihat matanya melebar seperti itu disertai mulut sedikit terbuka. Rasanya ingin tertawa, tapi kelihatannya waktunya tidak tepat.

"Kejam sekali," desisnya gemas. Dan hatiku makin tergelitik, membuatku mengulum senyum geliku. "Ya, kejam sekali," ulangku kemudian.

"Kau tak sakit hati?" tanyanya polos. Astaga, dia benar-benar menanyakan itu padaku?

"Tentu saja iya. Tapi, ah sudahlah. Berarti Tuhan berbaik hati padaku dengan menjauhkan yang buruk dariku."

"Woah, kau benar juga," jawabnya kemudian dengan binaran kecil di mata bulatnya.

"Ini sudah sore, kau tak mau pulang?" tanyanya kemudian.

Lalu dengan pura-pura tersinggung, aku berujar, "kau mengusirku?"

"Tidak, bukan begitu. Aku--"

"Ya, ya, ya, aku tau kau tak bermaksud begitu," ujarku memotong kalimatnya. "Aku hanya ... masih terbawa perasaan saja," lanjutku kemudian.

Lalu keheningan menyelimuti kami.

"Eh, sepertinya es krim disana enak deh. Temenin aku beli, yuk." Lucas berkata tiba-tiba. Dan seulas senyum tipis terukir di bibirku. Pria ini ingin menghiburku.

~♥~

"Aku kekenyangan, Lu!" protesku begitu dia hendak mengajakku membeli gulali di seberang jalan sana.

Lucas mencebikkan bibirnya. "Tapi aku ingin beli gulali, Al."

"Beli sendiri, ya? Aku tunggu disini," ujarku kemudian. Lalu aku mendudukkan diri di bangku taman yang sempat kududuki tadi.

"Yaudah deh. Kamu gak nitip?"

Aku menyipitkan mataku. "Kamu bener-bener punya niatan bikin aku gemuk, ya?" sarkasku kemudian. Lalu dengan cengengesan gak jelas, dia geleng-geleng kepala. "Aku beli gulali dulu, ya. Kamu disini aja, jangan kemana-mana!"

Aku hanya membalasnya dengan deheman singkat, lalu aku mulai berkutat dengan smartphone-ku yang sempat kulupakan eksistensinya.

"Astaga, sudah jam delapan malam!" gumamku terkaget. Lalu beberapa sekon kemudian, di luar kendaliku aku bersendawa, membuat tanganku otomatis menutupi mulutku.

"Astaga ...," gumamku lagi. Aku kekenyangan. Pasti karena Lucas. Dia mengajakku makan es krim, lalu burger, sosis jumbo, coklat, kembang gula, jus buah, lalu beberapa saat yang lalu ia masih berniat mengajakku membeli gulali? Meski semuanya dia yang bayar, tapi tetap saja perutku punya batasan.

"Ayo pulang, Lu," kataku saat dia menjatuhkan diri tepat di sampingku.

"Eh, sudah jam berapa? Astaga, aku benar-benar lupa waktu!"

Aku memutar bola mata malas, sebelum akhirnya menyadari bahwa aku sudah terlalu dekat dengan pria ini. Maksudku, aku baru mengenalnya beberapa jam yang lalu, tapi kami sudah jalan bareng, makan bareng, curhat bareng, ketawa bareng, dan itu semuanya terjadi begitu saja.

"Dimana rumahmu?" tanyaku kemudian. Dan dia menunjukkan secarik kertas padaku.

"Oh, jalan Kuda --jalan Kuda Hitam?" Dengan cepat aku merebut kertas di tangan besar Lucas, dan mataku mulai meneliti perhuruf dari coretan tinta itu.

"Lu ..., kayaknya aku tau deh alamat ini," tukasku kemudian.

"Benarkah?"

"Ini ... alamat rumah yang letaknya di sebelah rumahku tepat," kataku dengan mata melebar yang menatap matanya.

"Hah?"

"Iya, aku yakin ini rumahnya nenek Wendy!"

"Itu nama nenekku!" pekiknya.

Mataku makin melebar. "Kau ... Lucas?"

Dia bingung. "Hah? Iya, namaku Lucas."

Karena merasa gemas, aku mencubit bahunya, membuatnya mengaduh pelan. "Bukan itu maksudku! Kau itu Lucas? Teman kecilku?"

"Hah?"

Astaga, kurasa dia benar-benar Lucas, teman semasa kecilku. Aku semakin yakin karena Lucas yang ini benar-benar lambat mikirnya, persis seperti Lucas teman semasa kecilku dulu.

"Kamu gak inget aku? Allula? Allula Jung?" tanyaku seolah aku sedang bertanya pada pasien gegar otak.

"Jung? Jung Allula?" ujarnya seraya mengerutkan keningnya.

"Kau ..."

Mataku menatapnya penuh harap, dan dia melanjutkan kalimatnya, "... Kau yang hobinya menempelkan upil di tembok rumah nenekku, kan?"

Aku terlongo.

Lalu aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk mencubitnya sampai rasa-rasanya aku bisa memisahkan kulit dari daging di bahunya. Dia mengaduh kencang, dan aku merasa makin geram.

"AIB WOY!!!" semburku kemudian. Ada perasaam dongkol yang merayapi hatiku, bercampur malu juga karena si Lucas yang mengungkit kebiasaan jorokku pada masa itu, tapi perasaan senang juga tak kalah mendominasi mengingat bahwa dia benar-benar Lucas teman semasa kecilku.

"Astaga, ayo kita pulang, Lu! Aku tak sabar menunjukkanmu pada orang tuaku! Kau dulu kan pendek, jelek, gendut, hitam, buluk, dekil dan bau gitu!"

"Heh! Kau juga begitu, dulu! Mana ada gadis kecil yang hobi ngupil? Ditempelin di tembok rumahku lagi."

"Tapi sekarang cantik kan?" godaku menaik turunkan alisku. Lalu dia berkomat-kamit, "aku juga tampan."

Aku tersenyum lega. Tiba-tiba saja mood-ku naik dengan cepat. Perasaan bahagia melambung dalam diriku, ingin membuncah dan meledak saja!

"Ya, ya, ya, kau tampan dan aku cantik. Sekarang ayo pulang!"

Dan dengan mata berbinar aku menyeret tangannya, hendak menyetop taksi.

Astaga, aku senang sekali!

Dan oh, tiba-tiba ingatan masa kecil kami dulu hinggap ke pikiranku. Saat itu Lucas hendak pindah.

*Flashback: on*

"Kamu kenapa pindah, sih?" tanyaku terputus-putus oleh tangisan hebat. Tanganku juga menahan tangannya agar tak segera masuk ke mobil orang tuanya.

"Nanti aku berteman dengan siapa jika kau pergi? Kau tau kan, aku tak pintar cari teman!" teriakku saat orang tuaku menarikku dengan lembut dari belakang.

Lucas mencondongkan tubuhnya padaku, lalu dia berbisik, "aku akan berusaha kembali lagi kesini. Dan jaga dirimu untuk diriku. Aku berjanji saat dewasa nanti, aku akan jadi pria yang lebih baik bagimu."

Lalu hening. Orang tua kami membiarkan kami sejenak, dan kurasakan hembusan angin yang membelai pipiku serta menerbangkan anak rambutku.

Dan setelahnya, Lucas kembali membisiku, "aku akan melamarmu, kelak. Dan kita akan bahagia." Kentara sekali nada pembujukannya, tapi aku mempercayainya jua.

Isakanku terhenti. Terutama saat dia mulai mengecup keningku.

LUCAS MENGECUP KENINGKU!

Dia adalah pria pertama yang berani mengecup keningku setelah ayah dan kakakku.

Pipiku rasanya memanas, apalagi saat mendengar kekehan dari orang tuaku, juga orang tuanya.

Lalu dia mulai masuk ke mobil, dan aku kembali histeris. Ayahku sampai kewalahan menahanku yang rasa-rasanya ingin menahan mobil itu agar tak berjalan pergi.

Setelahnya, aku menangis dengan histeris, dan meraung-raung sampai lemas karena kelelahan.

*flashback: off*

"Hei, kenapa senyum-senyum gitu? Senang ya, jalan bareng sama cogan?"

Aku terkekeh kecil. "Aku ingat bagaimana histerisnya aku saat kau pergi pindah, dulu," ujarku akhirnya.

"Ah, yang itu ya? Kau lucu sekali, menangis dengan ingus yang berceceran dimana-mana."

Bukannya mengelak, aku malah tertawa. Kali ini lebih lepas.

"Aku sampai sakit karena mogok makan," ujarku penuh kegelian.

"Wah? Sebegitunya?" tanggapnya dengan wajah penuh senyum khas mengingat nostalgia.

"Oh, dan kau masih ingat, saat aku menciummu dulu?" lanjutnya dengan santai.

Astaga, mulut pria ini rupanya benar-benar minta dikobok!

"Ingat tentunya. Kau itu, masih kecil sudah berani ya," kataku bingung memilih kalimat. Dan dia terkekeh pelan.

"Btw, aku serius dengan janjiku dulu. Apalagi sekarang kau secantik ini."

Hatiku berdugem. Duh!

"Janji apa?" ujarku pura-pura tak tahu.

"Janjiku yang akan menikahimu sa--"

"Eh, naik bis aja deh. Nunggu taksi kelamaan." Aku memotong kalimatnya, dan dengan segera melangkahkan tungkaiku ke arah sebuah bis yang kebetulan sekali berhenti di halte di depan sana.

Lalu bisa kudengar kekehan kecil darinya.

Astaga, Lucas!


Karya : Piupile - Nganjuk

Post a Comment

0 Comments