Eksistensi K-Pop dan K-Drama, Pilihan dan Kegemaran

Sumber: Pinterest.com

Sepanjang di rumah saja, banyak orang yang akhirnya menjadi K-Popers dan maraton K-Drama karena terlalu banyak kesibukan yang terpaksa tidak dilakukan di masa pandemi. Sebagian dari mereka merupakan orang-orang yang merasa bosan dan kurang hiburan, sebagiannya lagi jalur karma karena menghina teman yang lebih dahulu mantap menjadi penggemar musik atau film dari Korea Selatan ini.

Beberapa waktu yang lalu, seorang anak kelas dua SD bertanya tentang lokasi kuliah saya. Ketika saya mengatakan Semarang sebagai tempat menuntut ilmu di jenjang perkuliahan, dia bagai terpancing dan terus bercerita. Lucunya, ceritanya adalah tentang eksistensi K-Pop dan K-Drama yang sudah merasuki jiwa anak-anak seusianya.

Mbak, suka BTS atau EXO? Kalau aku suka Treasure,” kalimat itu mengawali percakapan terkait budaya populer Korea ini.

Ketika saya menjawab, tidak terlalu mengikuti musik Korea, sekali lagi anak itu nyeletuk dengan polos khas usianya, dia ingin berkuliah di Korea. Pikirnya, ketika berkuliah di Korea dia bisa bertemu dengan oppa-oppa yang lagunya dia dengarkan bersama kakak perempuannya yang juga seorang K-Popers. Ya, begitu sederhana harapan dan mimpinya.

Bagi generasi muda yang sudah cukup usia untuk mengakses hiburan Korea, tentu mereka tidak akan susah mencari dan melihat oppa atau noona favorit mereka. Ya, gimana ya, bahkan media sosial agaknya sudah menjadi tempat ternyaman untuk para penggemar dan juga penikmat drama berekspresi. Entah itu mendukung atau sekedar mengkhayalkan bertemu idolanya.

Akhir-akhir ini, penggemar K-Drama juga masih banyak. Kok bisa? Berbagai media sosial seperti twitter dan instagram yang membahas mengenai drama asal Korea ini masih banyak diikuti dan diminati (lah iya, lha wong saya juga mengikuti). Pembahasan tidak hanya tentang episode lalu drama on going yang seringkali membuat penonton dirundung kecemasan menunggu episode selanjutnya, pemain yang visualnya tidak diragukan, ada juga banyak celoteh para penganut ke-halu-an tingkat tinggi yang semakin menjadi-jadi.

Yaaaaa, nggak ada salahnya, kan hiburan.

Korean Wave yang Terus Berkembang

Perkembangan budaya Korea sepertinya cukup pesat. Berbagai produk budaya Korea mulai dari drama, film, lagu, fashion,  gaya hidup, juga produk industri sudah mulai mewarnai kehidupan masyarakat di berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia. Penerimaan yang cepat dan meluas ini menimbulkan sebuah fenomena yang disebut Korean Wave.

Drama Korea atau K-Drama memiliki peran signifikan untuk penyebaran Korean Wave. Menampilkan nuansa cerita dan alur yang berbeda serta detail yang dikemas apik, tidak bisa menutup lancarnya perkembangan Korean Wave di Indonesia sehingga menjadi lebih populer. Tentu ini bukan hanya peran K-Drama, akan tetapi juga budaya populer lainnya seperti K-Pop, K-Style, kuliner juga teknologi.

Kegandrungan akan K-Pop yang menampilkan berbagai jenis musik, musisi, dan kelompok atau grup musik ini juga telah menembus batas yang luar biasa. K-Popers semakin banyak di seluruh penjuru Indonesia atau bahkan dunia. Usia pun tidak menjadi penghalang mereka untuk tetap menonton serta mendengarkan idola bernyanyi dan menampilkan performa yang mungkin begitu menarik bagi penikmatnya.

Budaya dan gaya hidup Korea (Korean wave atau Hallyu) rupanya juga menguasai pasar makanan di Indonesia. Siapa yang tidak mengenal, ramen, kimchi, topokki, dan lain sebagainya? Saya rasa meskipun tidak melalui drama atau musiknya, gaya hidup Korea mampu merasuk melalui makanan-makanannya. Iya, apalagi sudah tersedia versi instan di toko, swalayan, atau online shop tentunya.

Lantas kalau kita menjadi penggemar K-Drama atau K-Pop beserta teman-temannya memangnya kenapa? Iya tidak apa-apa. Itu hanya perihal pilihan gaya hidup dan juga hiburan. Banyak di antara K-Popers mengaku ketika menonton atau mendengarkan hiburan Korea bisa memberikan dampak healing atau pengobatan bagi mereka. It’s Ok, itu adalah pilihan.

Baik gemar dengan budaya populer barat yang disebar memalui film dan musik, atau Korea, keduanya ya sama-sama karena kegemaran dan perihal selera. Jika itu sebagai media hiburan dan mengambil nilai positif dari segi apapun, selayaknya tidak perlu saling menghakimi mana yang lebih benar atau lebih baik. Apabila Korean Wave menjadi suatu permasalahan yang harus dipecahkan solusinya, maka generasi itu juga berhak membuat konten, hiburan, atau produk yang sama bahkan melebihi apa yang digemari dan digandrungi sekarang ini. Masalahnya, bisa tidak? Eh. Bisa pasti bisa.

Para penikmatnya tentu punya alasan tersendiri mengapa lebih memilih ini atau itu sebagai bagian dari dirinya. Di luar bagaimana sisi negatif yang ada di dalamnya, kenapa kita tidak melihat sisi positifnya dulu? Tapi, ya kalau kasusnya itu usia anak seperti adik-adik yang saya maksudkan di awal, tentu masih sangat memerlukan peran dan pengawasan orang tua. Sudah jelas.

Pada akhirnya, kita memang harus mengakui, budaya populer Korea yang terhimpun dalam Korean Wave memang sedang menjadi kegemaran dan pilihan masyarakat Indonesia dari berbagai jenjang usia. Jadi, kalau suka ya suka aja, kalau tidak suka oh ya tidak apa-apa. Namanya juga pilihan dan kegemaran. Ya kan?

Post a Comment

0 Comments