Kala Senja Mulai Bercerita || Cerpen

Sumber gambar: Pinterest.com

Alunan melodi indah gemericik hujan bercampur angin dan petir, seolah menjadi penawar bagi tiap-tiap insan yang merindu. Ya, kata para pemuda yang gandrung akan cinta hujan adalah kenangan, buah dari sebuah bibit kerinduan yang tumbuh subur. Ah, apakah benar demikian? Tentulah hanya ekspresi bagi kaum muda yang digoncang perasaan. Hari memang masih pagi, akan tetapi nampak jelas seperti bukan lagi fajar yang menjemput kami. Serasa enggan membuka selimut dan mengawali hari, tapi masihkah raga yang meminta nasi tidak mau beranjak berdiri. Sungguh ini benar-benar sulit bagi pemudi malas seperti Rara ini.

Hari-hari Rara tak kunjung berubah, dilewatinya dengan dilema dan kemalasan memulai langkah baru. Nanda, putri semata wayang dari seorang pengusaha yang juga menjadi teman dekat Rara, obat gelisah baginya mengajaknya berangkat cukup pagi di hari ini. Membangunkan, menyuruh mandi, dan mengingatkan tentang tugas yang harus di kumpulkan pagi ini juga. Sontak peringatan itu mengguncang sebagian jiwa Rara yang sisanya masih melayang entah kemana. "Kamu mengingatkan kok baru sih Nan? Lha kan otakku bukan internet," teriak Rara yang masih mengguyurkan air di tubuhnya. Bak sahabat baik yang sangat mengerti, Nanda hanya tersenyum simpul tanpa menjawab.

Gemericik air kala itu masih saja menghantam bumi, "Yakin berangkat? Libur aja yuk," serobot gadis malas itu. Nanda menggandengnya penuh harap, tanpa sepatah kata pun terlontar lagi. Dengan sangat terpaksa langkah kaku Rara mengikuti kawan baiknya itu. Lagi-lagi tak ada yang berbeda dari sikap Rara ia tetap saja menjadi manusia yang berkutat pada gawai dan putaran jari-jarinya dengan ekspresi yang datar tanpa suara. Ah ya sudahlah, dia memang seperti itu. "Aku berharap kau akan mendapat pelajaran berharga Ra, aku sangat berharap," gumam Nanda dalam hati melihat tingkah sahabatnya.

Waktu terus berjalan tanpa henti, manusia berlalu lalang kesana kemari, seolah mengejar sesuatu yang sangat ingin dimiliki. Kadang seringkali masjid sepi, pasar dan supermarket menjadi sangat ramai, terlebih mall, bioskop, dan beberapa toko yang menjual make up. Apakah ini yang disebut awal tahun? Kembali Nanda meresapi diri, digandengnya tangan Rara yang terduduk seperti orang lapar di pinggir trotoar. "Kamu mau sholat dulu atau mau makan dulu?" tanyanya lembut. "Makan dulu saja," jawab Rara sesingkat mungkin. Kembali berjalan mereka menyusuri barisan penjual makanan, tak ditemukan satupun tempat yang sedikit sepi dan longgar. Terpaksa, mereka ikut bersesak ria di dalam rumah makan pinggir jalan dengan harga murah yang mereka inginkan.

Sempat terpikir di benak Rara, "Sekarang aku tahu, mengapa Nanda selalu mengajakku Sholat terlebih dahulu, ketika rumah makan ramai pengunjung pelayanan akan semakin lama, semuanya akan menyita waktu cukup banyak, dan hati Nanda tidak akan tenang sebelum mencukupi kebutuhan rohaninya". Satu jam berlalu begitu saja, sedikit menoleh ke arah matahari yang mulai turun, mereka berdua bergegas melangkah ke Masjid. Nanda memang golongan orang berada, tapi ia memang sosok yang sering sekali menghemat biaya dalam kategori apapun bahkan belanja ke mall bukan merupakan hobinya, padahal hal ini yang biasa di gandrungi perempuan pada umumnya. Langkah mereka masih terus saja, hingga mereka temukan sebuah bangunan besar bertuliskan "Toko Buku", masuk, berkeliling, membaca, dan mengambil salah satu yang mereka suka. Lama memang, sambil mencari AC tentunya.

Jalanan yang biasanya ramai, saat ini cukup sepi. Mereka berjalan sampai gang sempit berdua, hingga senja menjemput mereka. Tak disangka, bertemu mereka dengan kakek tua, tubuhnya kurus kering, badannya sudah rentan, kulitnya keriput, mengangkat beberapa sapu pada pundaknya sambil berteriak, "Sapunya buk mbak pak" Nanda berkata, "Bila saja orangtuamu adalah beliau, apakah kau masih tega untuk bermalas-malasan dan tidak menikmati nyawa yang melekat pada raga mu?" sambil tersentak "Mungkin saja tidak," ucap Rara.

Mereka kembali melangkah, ditemuinya seorang anak kecil, berkaos pendek, dengan celana pendek pula, mengangkat kayu sekuat pundak kecilnya, wajahnya kusam dan lelah. Nanda membuka tas memberinya sebungkus roti, diturunkannya kayu dan menadah tangannya menjemput makanan. "Kakak cantik, kakak baik, terima kasih, akan aku bagi dengan adikku nanti," jawab anak kecil itu dengan polosnya. Dibukanya tas Rara, mengambil dua lembar uang lima ribu, ia berikan lagi kepada anak itu, sungguh getaran di ujung senja itu begitu terasa. Nanda kembali bersuara, "Bagaimana jika kamu yang menjadi anak kecil itu, kisaran umur 8 tahun ia harus bekerja mencukupi kehidupan dia dan adiknya mungkin juga ibu atau neneknya. Apakah kamu akan sanggup Ra?". Enggan menjawab Rara hanya menggeleng.

Apa lagi kemudian? Sosok pemuda dengan baju seadanya mengayuh sepeda tua yang mungkin saja peninggalan kakeknya, dengan semangat dan senyum tersungging. Pemuda dengan ransel kecil dan peci itu terlihat bersemangat. "Kamu tahu dia akan kemana Nan?" tanya Rara pada sahabatnya. "Iya, dia Bang To, panggilan akrab bagi anak-anak kecil di masjid dekat kosku. Kamu tahu Ra, dia adalah seorang yang tangguh di mataku, ia kesana kemari serabutan bekerja demi mencukupi biaya hidup dan pendidikannya, tapi satu hal setiap sore ketika ia membawa ransel kecilnya dan memakai peci, jamaah maghrib tujuannya dan mengajar mengaji kebiasaan yang ia lakukan di sana. Satu lagi, pesannya yang aku ingat, Apapun yang kita kejar bila tidak ada kesungguhan itu tidak akan tercapai, tapi jangan larut dalam ambisi, karena Tuhan sudah menyisipkan jalan terbaik diantara rencana kita, begitu katanya padaku waktu itu," cerita singkat Nanda hingga sampai kos Rara.

"Jamaah dulu samping kos yuk Ra," ajak Nanda. Senyum simpul terurai, benang yang tadinya menjahit dan menutup rasa syukur Rara tiba-tiba lepas begitu saja. Ia merasa alam dan senja tengah bercerita bahwa Tuhan menciptakan segalanya agar kita mau berusaha. Ia merasa bahwa dirinya saja yang tak pandai mensyukuri nikmat, masih sering mengumpat, dan masih sering menggunakan teguran sebagai candaan. Dan sore itu, senja bercerita.

Post a Comment

0 Comments