Perasaan nyaman, tentram terhadapnya membuat lena dan bergantung padanya, dapat melupakan segala yang menjadi tujuan akhir kita disana. Dengan sedikit renungan saja kepada manusia, memburu kesenangan nafsu belaka merasa dunia seisinya hanya miliknya yang selalu terlintas dibenaknya. Bayangkanlah keadaan umat manusia bila perhatian setiap orang kepada hal tersebut? Hanya dunialah yang menjadi tempat sandarannya.
Dalam QS.al-Hadid: 20 dijelaskan dalam terjemahan firman-Nya, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak”. Allah hanya menuntut hamba agar akhirat menjadi perhatian utamanya dan bersikap kepada dunia dengan penuh kehati-hatian. Jangan sampai seluruh perhatiannya tercurah kepada dunia dan syahwatnya.
Hal yang sering terlena terhadap manusia banyaknya karunia tetapi disia-siakan dengan menuruti hawa nafsunya, ketika cinta terhadap sesama manusia kadang kita lupa itu hakikatnya hanya milik Allah semata. Buah cinta kepada Allah dan kekasihnya telah menjadi kewajiban Islam yang tinggi dan perlu diterapkan dalam kehidupan. Al-Ghazali berkata:
“Siapa yang mencintai selain Allah, bukan karena adanya keterkaitan kepada Allah, maka hal itu adalah karena kebodohan dan kekurangannya dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW adalah terpuji karena cinta ini merupakan buah dari cinta Allah. Demikan pula cinta kepada ulama’ dan orang-orang yang bertakwa, karena kekasihnya Kekasih adalah kekasih. Utusan kekasih adalah kekasih, dan pecinta Kekasih adalah kekasih. Semua itu tergantung kepada cinta utama yang tidak melampauinya kepada selainnya”.
Dalam pandangan orang-orang yang memiliki bashriah, pada hakikatnya tidak ada kekasih kecuali Allah ta’ala dan tidak ada yang berhak mendapatkan cinta kecuali Dia. Dari sinilah menjadi jelas bahwa tahqiq (mencapai hakikat) itu mengharuskan agar kita tidak mencintai siapapun selain Allah ta’ala. Penjelasan ini tidaklah terlepas kepada lima sebab yang semuanya berhimpun pada hak Allah dan tidak terdapat pada selain-Nya, kecuali salah satunya saja diantara kelima tersebut yang merupakan hakikat (benar adanya) dalam diri Allah ta’ala dan keberadaannya pun hanyalah kiasan semata.
Sebab pertama, yaitu manusia mencintai dirinya sendiri, mencintai kesempurnaannya, mencintai kelanggengan eksistensinya, dan membenci hal-hal yang meniadakan, mengurangi atau memutuskan kesempurnaannya. Ini merupakan tabiat setiap makhluk hidup dan tidak tergambarkan bahwa ia dapat berpisah darinya. Hal ini menuntut adanya puncak cinta kepada Allah ta’ala, karena orang yang mengetahui dirinya dan Tuhannya pasti mengetahui bahwa eksistensi yang berasal dari Allah ta’ala.
Sebab kedua, cintanya kepada orang yang berbuat baik kepadanya lalu ia mengasihi dengan hartanya dan mencari segala sarana untuk membuatnya mencapai tujuan dan kemaslahatannya. Hal ini menuntut agar dia tidak hanyut dengan cinta terhadap Allah ta’ala, karena jika dia benar-benar mengetahui niscaya dia akan menyadari bahwa perbuatan baiknya adalah karena Allah semata.
Sebab ketiga, cinta Anda kepada orang yang berbuat baik terhadap dirinya sendiri sekalipun kebaikannya tidak sampai kepada diri Anda. Hal ini juga menuntut cinta kepada Allah bahkan menuntut agar ia tidak mencintai selain-Nya, kecuali dari segi kaitannya sebagai salah satu perantara karena Allah-lah yang berbuat baik kepada semua pihak atas semua makluk. Jadi, Dia-lah yang berbuat baik. Bagaimana mungkin selain-Nya dikatakan berbuat baik sedangkan kebaikannya merupakan bagian dari kekuasaan-Nya? Dia-lah Allah pencipta segala kebaikan.
Sebab keempat, cinta kepada setiap keindahan karena keindahan itu sendiri, bukan karena kepentingan yang diperoleh dari balik pencapaian keindahan tersebut. Contoh dalam hal ini adalah melihat kebaikan tulisan seorang pengarang atau penyair dari karya-karyanya tersebut. Ketika dikaji lebih jauh hasil itu kembali kepada pengetahuan dan kemampuan. Atas dasar ini tentulah harus dinisbatkan kepada sifat-sifat Allah ta’ala.
Sebab Kelima, munasabah (kesesuaian). Saling kenal adalah kesesuaian dengan menuntut cinta kepada Allah yang tidak didasarkan kepada keserupaan tetapi kepada beberapa makna. Hal ini dalam kedekatan hamba kepada Tuhannya dalam beberapa sifat yang diperintahkan-Nya untuk diteladani.
Sebab semua cinta tersebut pada hak Allah dalam tingaktannya yang paling tinggi. Sehingga cinta Allah semata sangatlah rasional dan bisa diterima di sisi orang-orang yang memiliki mata hati. Sebagaimana cinta selain Allah semata sangatlah rasional dan mungkin di sisi orang yang buta hati. Karena pengakuan cinta yang dapat membuat sebagian orang melupakan rasa takut kepada Allah ta’ala. Karena diantara kesalahan mayoritas manusia adalah timbul dari anggapan bahwa Allah memiliki sifat-sifat keindahan tanpa sifat-sifat kemuliaan, sehingga mereka tidak mengetahui kemuliaan Allah selama ini.
Sumber: Hawwa, Sa’id. Kitab al-Mustakhlash fii Tazkiyatil Anfus. Daarus Salaam.
0 Comments