Tingginya Pendidikan Belum Tentu Mencetak Pribadi yang Terdidik

Credit picture: Pngtree.com


Pendidikan di Indonesia telah beberapa kali merevisi sistem di dalamnya dari masa ke masa, mulai dari Kurikulum Rencana Pelajaran (1947) hingga Kurikulum 2013 saat ini. Namun dengan adanya perubahan ini belum tentu diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia yang unggul dari hasil pendidikan itu sendiri. Unggul dalam hal ini bukan hanya sekadar dari intelektualnya saja, namun juga dari segi karakter, moral dan kemuliaan akhlak pribadinya. Lalu apa jadinya apabila tingginya pendidikan belum mampu mencetak pribadi yang terdidik?

Timbulnya beberapa masalah dan kekacauan di masyarakat sebagian besar merupakan akibat dari perbuatan orang yang pandai namun tidak terdidik. Aksi kriminal dan perbuatan tidak terpuji lainnya terkadang merupakan ulah dari orang-orang yang justru mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi, contohnya saja masalah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Masalah-masalah yang klasik namun krusial ini masih saja terjadi di tengah pendidikan masyarakat Indonesia yang semakin tinggi, mengapa hal demikian terjadi?

Orang Pandai Belum Tentu Terdidik

Pendidikan yang tinggi hingga memiliki gelar berderet-deret pun ternyata belum tentu mampu mengubah pikiran dan tindakan seseorang. Mungkin memang benar sekolah-sekolah di Indonesia telah mampu mengubah seseorang menjadi semakin pandai, namun belum terdidik secara kepribadiannya. Bukti di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak orang pandai yang bergelar sarjana atau bahkan profesor yang melakukan kejahatan sehingga harus mendekam di balik jeruji penjara, dan bahkan sel penjaranya bak hotel berbintang.

Pola pendidikan yang diterapkan Indonesia memang hanya mengajarkan bidang keilmuan serta teknologi kepada para peserta didiknya sehingga akan membuat orang semakin pandai, ahli dalam suatu disiplin ilmu dan expert di bidang yang ditekuninya. Namun sangat disayangkan dalam segi budi pekerti dan akhlak yang membuat orang menjadi terdidik belum atau bahkan tidak diajarkan di bangku pendidikan. Dari sinilah sebabnya mengapa masih banyak orang pandai yang melakukan tindakan tidak terpuji dan merugikan banyak orang seperti halnya korupsi dan suap.

Dalam hal lain, masih banyak pula kasus-kasus kejahatan lain selain korupsi yang dilakukan oleh orang-orang pandai dan berpendidikan tinggi. Katakan saja seperti ujaran kebencian, penyebar hoax, dan aksi radikalisme. Tindakan tersebut telah banyak menyebabkan keresahan dan situasi yang tidak kondusif di kalangan masyarakat. Lalu dimanakah akar permasalahannya? Mungkin hanya di Negeri tercinta ini dimana mantan narapidana (seperti kasus korupsi) dapat menjadi pimpinan dalam sebuah instansi. Bukankah hal ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi semua pihak, padahal di sisi lain masih banyak orang terdidik di luar sana yang mampu dan mumpuni untuk menjadi seorang pemimpin namun tidak dipilih. Sungguh sangat miris apabila melihat kasus-kasus kejahatan yang dilakukan oleh kalangan elit yang mempunyai riwayat pendidikan yang tinggi, dimana seharusnya mereka dapat menjadi figur contoh bagi masyarakat.

Pendidikan Karakter yang Berbasis Proses Bisa Jadi Solusi

Pendidikan di Indonesia agaknya lebih memandang hasil dibandingkan proses, oleh karenanya banyak orang yang mati-matian untuk mendapatkan nilai yang bagus dengan berbagai cara. Entah itu cara yang baik ataupun sebaliknya. Revisi sistem pendidikan yang mengedepankan karakter dan mengutamakan proses bisa menjadi solusi untuk mencetak generasi yang terididik secara intelektual maupun moralnya.

Bagi beberapa orang yang terbiasa diajarkan untuk melihat hasil akhirnya saja bukan tidak mungkin mereka akan bersikap acuh dan tak perduli dengan cara maupun proses yang ditempuh untuk mendapatkan hasil tersebut. Apakah caranya baik atau tidak yang terpenting hasilnya sesuai dengan yang diinginkan. Di sinilah letak kesalahan sistem pendidikan di Negeri ini, dimana segala sesuatunya berorientasi kepada hasil tanpa mempedulikan proses. Banyak anak didik di luar sana yang dibiarkan dengan seribu caranya untuk memperoleh hasil yang ditargetkan, padahal seharusnya cara yang dilewati juga masuk ke dalam kriteria penilaian apakah caranya benar atau tidak. 

Dari sini ditekankan bahwa seharusnya pendidikan karakter lebih diutamakan dan kesadaran untuk menilai sebuah “proses” harus ditanamkan sejak dini. Pendidikan karakter yang baik akan mengajarkan seseorang untuk menempuh jalan yang baik dan benar untuk mendapatkan suatu hasil, sedangkan pendidikan berbasis proses akan membuat seseorang tak hanya terpaku oleh hasil namun juga fokus terhadap step by step yang harus dilaluinya. Jika sistem pendidikan ini diterapkan, maka seseorang akan berlomba-lomba untuk mendapatkan hasil yang maksimal dengan cara yang baik dan terpuji.

Dampak (impact) dari pendidikan yang mengutamakan karakter dan berbasis proses ini akan lahir pribadi yang pandai dan terdidik bukan dari sisi akademisnya saja, namun juga unggul dari segi moral dan kepribadiannya. Jika Indonesia menerapkan sistem yang demikian, maka akan terbentuk generasi-generasi penerus bangsa yang jujur dan amanah dalam memangku jabatan sehingga masalah-masalah klasik seperti korupsi, kolusi dan nepotisme bukan tidak mungkin akan terkendali dan hilang dengan sendirinya.

Pentingnya Pemahaman Ilmu

Semakin berisi semakin merunduk, mungkin ungkapan ini sering kita baca dan dengar semenjak kecil. Dimana semakin pandai manusia maka akan semakin menumbuhkan rasa rendah hatinya, karena semakin menyadari bahwa dirinya masih belum ada apa-apanya dan masih banyak orang yang mungkin lebih pandai dari dirinya.

Dalam pendidikan sudah seharusnya kita diajarkan tingkatan ilmu dimana semakin banyak ilmu yang didapat tidak lantas membuat kita sombong dan merasa hebat, namun malah semakin rendah hati dan selalu terbuka terhadap apapun yang ada di sekitar entah siapapun yang menyampaikan, yang terpenting adalah ilmu yang disampaikan oleh orang tersebut.

Dari `Abdullah bin al-Mubarak mengatakan bahwa, “Belajar ilmu itu memiliki 3 tingkatan”, tingkatan tersebut adalah:

1. Barang siapa yang sampai pada tingkatan pertama, dia akan menjadi seorang yang sombong,

2. Jika sampai pada tingkatan kedua, dia akan menjadi seorang yang tawadhu`,

3. Dan jika sampai pada tingkatan ketiga, dia akan merasakan bahawa dia tidak tahu apa-apa.

Mungkin sudah seharusnya sistem pendidikan kita mencontoh sebagaimana konsep pendidikan tersebut sehingga generasi muda di Negeri ini dapat menjadi pribadi terdidik dengan sifat yang baik dan terus berusaha meningkatkan kemampuan dirinya, karena mereka merasa bahwa dirinya masih belum ada apa-apanya dibanding dengan yang lainnya. 

Semoga tulisan ini menginspirasi. Salam pejuang pendidikan!

Oleh: Anisatuz Zahro', Mahasiswa Prodi Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang

Post a Comment

3 Comments