Kesempatan Bukan Kemauan



"Ini kesempatan kamu, jangan disia-siakan. Nggak akan ada yang namanya kesempatan kedua. Mulai dari sekarang atau tidak sama sekali." Kalimat itu berhasil terus berputar-putar di otakku, bersarang bahkan menempel erat bak materai dengan tanda tangan pemiliknya. 

Beberapa hari yang lalu aku baru saja mendapat kabar baik atau tepatnya kabar buruk bagiku, Pak Firman pembimbing ekstra KIR di sekolahku mengumumkan bahwa dalam waktu dekat ini akan ada perlombaan karya tulis ilmiah tingkat nasional. Kabarnya belum selesai sampai di situ saja, akan tetapi perlombaan ini wajib diikuti oleh semua anggota ekstra KIR di sekolahku. 

Bagiku, ini entah kabar baik atau kabar buruk, sudah dapat dibayangkan bahwa dengan adanya kabar ini semua anggota KIR akan disibukkan dengan hal yang menurutku sangat membosankan , berkutik dengan semua hal yang sangat memakan waktu panjang. 

Satu hal yang harus kalian garis bawahi di sini yaitu bawasannya aku ikut extra KIR ini karena terpaksa, ya aku terpaksa ikut extra ini hanya untuk mendapatkan sertifikat kejuaraan. Namun, nyatanya aku sangat malas dan benci jika harus melakukan semua ritual untuk mengikuti perlombaan. 

"Tasya ... kali ini bapak akan menunjuk kamu sebagai ketua tim untuk kelompok 2!" Perintahnya tanpa meminta persetujuan dariku. 

Aku berusaha menampilkan senyum terbaikku di hadapan semua, terutama pada Pak Firman yang telah semena-mena menunjukku sebagai ketua tim. 

"Ini benar-benar gila bagiku saat mengetahui siapa anggota yang akan menjadi timku kali ini.
Apa tidak salah Pak Firman menunjukku sebagai ketua tim? sedangkan 2 orang yang akan menjadi anggotaku adalah Kak Belva ketua OSIS yang notabennya juara bertahan LKTI tinggkat provinsi, dan satu lagi Kak Erika sebagai jagoan kimia di sekolah yang juga telah berpengalaman di bidang karya tulis. Apa aku baru saja di-prank?" batinkku masih tak percaya. 

"Eh, lu bocah jadi ketua tim yang benar ya! Awas aja sampai tim kita nggak dapet juara," pekiknya tepat di telingaku sembari lewat tanpa permisi. 

“Dasar mentang-mentang cari duit, eh... kenapa jadi ngiklan. Dasar mentang-mentang kakak kelas, ketua osis pula kalau bukan mah udah kutiup kayak lilin pas listrik padam terus tiba-tiba nyala biar nggak berpijar dan ngeremehin orang lain kayak aku ini," gumamku dengan pandangan yang masih mengikuti pemilik mata elang itu. 

Hari ini aku ditemani Novi teman sekelasku ke perpustakaan sekolah untuk mencari buku-buku refereni yang akan mendukung karya tulisku nantinya. Beberapa buku sudah berada di gengamanku dan kurasa ini sudah cukup banyak. 

"Sya kamu keren ya---" 

"Dari dulu aku udah keren kali Nov," potongku sambil menampilkan senyum tiga jariku. 

"Dasar ya bocah, kalau ada orang ngomong tuh dengerin dulu jangan asal nyamber," balasnya tak terima. 

"Maksud aku tuh kamu keren bisa satu tim sama Kak Belva dan Kak Tasya, mereka itu kan anak-anak hits di sekolah pinter-pinter lagi," tambahnya. 

Benar apa yang dikatakan Novi, ini kesempatan bagus untukku. Siapa tahu dengan satu tim bersama mereka namaku juga bisa ikut terkenal. Mungkin juga dengan ini aku bisa mendapatkan apa yang kumau selama ini. 

Setelah mendapat buku-buku referensi, aku segera menemui Kak Erika seperti perintahnya tadi pagi. Aku berharap tugasku hanya mencari referensi saja dan untuk masalah pembuatan karya tulisnya biar Kak Erika dan Kak Belva nantinya. 

Namun, realitanya tak semanis martabak keju depan rumah dan semuanya tidak seperti rencana awalku. Kak Erika dan Kak Belva justru membebankan semua tugas ini padaku, mulai dari menentukan ide sampai membuat full paper yang sama sekali belum pernah kulakukan. 

"Karena Pak Firman sudah mempercayaimu sebagai ketua tim, jadi lu harus bawa nama baik tim ini! lu juga harus mengerjakan full paper semaksimal mungkin, nanti kalau lu butuh apa-apa tinggal bilang sama gua!" perintahnya tanpa basa-basi lalu pergi. 

Aku segera mengemasi barang-barangku dan menuju ke ruangan Pak Firman untuk meminta pertanggung jawaban atas semua ini. Aku tidak terima jika harus mengerjakan semua, apalagi aku tidak berbakat dalam membuat karya tulis. 

"Nak Tasya, bapak nunjuk kamu bukan tanpa alasan. Sudah beberapa kali bapak bilang padamu bahwa ini kesempatanmu untuk mencoba, nggak ada hal yang tidak mungkin jika kamu mau mencoba Nak. Ingat pesan bapak baik-baik dan percayalah bahwa kamu pasti bisa," tuturnya meyakinkanku. 

Kalau sudah begini batu pun bisa luluh, aku yang tadinya berniat protes justru mendapat wejangan yang mampu membuatku tidak berkutik. Dengan bermodal keyakinan ini aku memulai mencari ide dan judul yang sesuai dengan tema lomba ini. Aku juga berulang kali minta saran pada kakakku yang lebih berpengalaman akan hal ini. 

Setelah menemukan judul yang pas, aku tak lupa untuk mendiskusikan dengan Kak Belva dan Kak Erika sebagai anggota timku. Syukurnya mereka setuju-setuju saja dengan judul yang kupilih. 

Saat ini di hadapanku telah banyak buku-buku tebal berbagai judul dan juga beberapa jurnal yang setengah selesai kubaca. Meskipun ini membosankan tetapi aku mencoba untuk menyukai hal ini. 

Jam demi jam ku lewati, lembar demi lembar ku baca dan ku pahami, hingga kalimat demi kalimat kini telah berhasil ku satukan menjadi sebuah karya tulis. Kini bahkan sudah satu minggu tak terasa, aku mengerjakan full paper. Hari ini aku sudah sampai pada bab 5 yaitu penutup. 

Lelah, ngantuk, telat makan, lupa waktu itu menjadi konsekuensinya. Bahkan saat ini itu semua sudah tidak kurasakan. Semakin ke sini aku semakin menikmati prosesnya, meskipun ini benar-benar menguras tenaga dan pikiran tetapi ada banyak pembelajaran yang bisa kuambil. 

"Tasya, gimana full paper kita? lu pasti bisa kan, gue percaya kok sama lu." 

Kalimat itu benar-benar menambah semangatku utuk segera menyelesaikan full peper ini dan membuktikan kepada semua bahwa aku bisa. 

"Tinggal satu langkah lagi dan semuanya akan selesai," ucapku meyakinkan. 

Dua minggu setelah pengiriman full paper, hari ini Pak Firman akan menyampaikan hasilnya. Kali ini kabar yang disampaikan adalah kabar baik untuknya maupun untukku. Ya ini benar-benar tak kusangka, timku berhasil masuk tiga besar nasional. 

Semua yang mendengar kabar ini segera memberi ucapan selamat kepada timku. Tak tertinggal Kak Erika yang begitu senang mendengar kabar ini, awalnya dialah orang yang paling meragukan kemampuanku dan kini dia benar-benar berterima kasih atas usahaku yang tidak sia-sia sehingga mampu membawa nama baiknya serta nama baik sekolah. 

"Eh lu bocah, teryata lu hebat juga ya---" 

"Tasya Kak, nama aku Tasya," sahutku membenarkan. 

"Iya deh ... Tasya, nih gua ada bawa sesuatu buat lu, ucapnya sembari menyodorkan buku tebal dengan judul Jadilah Penulis Hebat 

"Terima kasih k---," ucapku terhenti saat melihat orang yang kuajak bicara telah pergi dari hadapanku.

Saat ini aku sedang mengistirahatkan pikiranku setelah satu minggu lebih berkutik dengan jurnal dan segala hal yang telah menguras tenaga dan pikiranku. Kini aku duduk di taman dengan tenang sambil mombolak-balik buku tebal yang masih glowing karena masih terbungkus rapi oleh plastik bening, dan entah kapan aku akan membukanya. Tak lupa rasa syukurku yang terus berdesir kepada-Nya atas nikmat-Nya yang tak pernah kusangka sebelumnya.

"Menunda untuk mencoba hal baru berarti menunda keberhasilan yang sudah Allah siapkan saat itu."

Post a Comment

0 Comments