Saatnya Indonesia Bangkit Bersama Melawan Praktik Korupsi

Bukan suatu kemusykilan suatu Negara tidak memiliki prahara, baik dibidang ideology, sosial, ekonomi, pertahanan, dan keamanan. Namun, apa jadinya jika permasalahan sudah mengepidemi hingga ke akar. Apa jadinya Negara jika setiap proyek Negara terdapat maling uang yang mengeruk sedikit demi sedikit kas Negara. Mengurangi sedemikian persen dana pembangunan, merencanakan proyek fiktif dll. Indonesia memang negara heterogen, namun apakah Indonesia harus terbagi menjadi kaum yang merekontruksi dan mendistruksi? Tidak. Salah satu permasalahan yang mengakar dan menjadi momok bangsa Indonesia yang sulit bahkan musykil untuk terselesaikan adalah Korupsi

Syed Hussein Alatas (1990:3-4), merumuskan pengertian minimalis. Menurut Alatas, “corruption is the abuse of trust in the interest of private gain”, yaitu penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Dengan adanya tindakan penyelewengan ini, akan berdampak pada rusaknya kedudukan dan kepentingan umum, dan akan menimbulkan rasa ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah dan hokum yang berlaku. 

Korupsi juga menyebabkan tidak efisiennya birokrasi dan meningkatnya biaya administrasi dalam birokrasi. Jika birokrasi telah dikungkungi oleh korupsi dengan berbagai bentuknya, maka prinsip dasar birokrasi yang rasional, efisien, dan berkualitas akan tidak pernah terlaksana. Kualitas layanan pasti sangat jelek dan mengecewakan publik.


Ilustrasi Praktik Korupsi yang Kian Marak Terjadi di Indonesia
Source: Sukabumiupdate.com

Pada zaman reformasi hukum, khususnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono kita tidak menutup mata telah banyak pejabat negara di Indonesia dijerat korupsi. Ada mantan menteri, gubernur, bupati, anggota DPR. DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang telah berurusan dengan masalah tindak pidana korupsi, bahkan ada yang masuk trali besi akibat melakukan korupsi. Membaca konsideran UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional. 

Statement KPK dianggap mati dan revisi undang-undang KPK menjadi tidak berarti mungkin layak menggambarkan kondisi Indonesia saat ini. Puluhan bahkan ratusan kasus korupsi terjadi di Indonesia mulai dari tingkat kota, propinsi, hingga nasional, mulai dari kepala daerah, gubernur, hingga anggota DPR dan para mentri. 

Mayoritas pelaku korupsi adalah para elit politik di mana meraka adalah orang-orang yang dipilih rakyat dengan seobrok visi misi yang dijelaskan indah dengan retorika yang menawan. Serta bentuk atau modus korupsi adalah cara-cara bagaimana korupsi itu dilakukan dapat berupa: Pemerasan Pajak, Manipulasi Tanah, Jalur Cepat Pembuatan KTP, SIM Jalur Cepat, Mark up Budget/Anggaran, Proses Tender, Penyelewengan dalam penyelesaian. Para wakil rakyat itu mayoritas adalah lulusan hukum bergelarkan Sarjana Hukum (S.H) yang setiap hari ketika masih dalam bangku perkuliahan diberi wejangan nilai-nilai keadilan dan tata kelola hukum yang benar sesuai dengan Pancasila dan undang-undang. 

Bahkan, ketika mereka dilantik sebagai kepala daerah ataupun anggota DPR mereka pernah disumpah dibawah Al-Qur’an atau berpegang pada Bible, namun realitanya sumpah itu hanyalah formalitas dan ucapan kosong tanpa arti. Mungkin benar ucapan Prof. Salim Said yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang yang tidak takut akan Tuhan, para koruptor itu hakikatnya pernah disumpah dibawah Kitab Suci dan berpegang pada Bible, namun sumpah itu mereka langgar.

Mungkin ini salah satu indikator penyebab mengapa Indonesia tidak maju-maju. Terlalu banyak tikus berkeliaran didalam sucinya kursi pemerintahan. Jika KPK tidak dapat menangani permasalahan korupsi baik secara berkala atau tegas lalu untuk apa ada lembaga KPK hingga saat ini. 

Sudah saatnya pemerintah bangkit dan berlaku tegas untuk mengatasi permasalahan yang sudah mengakar hingga ke epidemi ini. Indonesia sekarang tidak hanya membutuhkan undang-undang, tetapi juga tindakan, penegakkan, dan sanksi tegas untuk menghukum para pelaku korupsi. Jika hukuman denda sekian ratus juta dan masuk penjara sekian tahun tidak mampu membuat jera para pelaku, mungkin hukuman mati layak diberlakukan di Indonesia untuk menghapus kata KORUPSI dari kamus bahasa Indonesia.

Penulis: Muhammad Taufiqurrohman, Mahasiswa S1 Pendidikan Matematika STKIP Al Hikmah Surabaya.

Post a Comment

1 Comments