![]() |
Source: Pinterest.com |
Kala itu mentari tengah merunduk malu terselimut awan, kembali kupastikan waktu pada jam tangan putih gading yang melingkari pergelangan tangan, memang tidak salah, benar-benar sudah berlalu hingga dua jam. Dan aku masih duduk dengan gusar di bangku taman.
Siang menjelang sore, Radit melupakan janjinya untuk menemuiku lagi, mungkin. Kabar terakhir yang kudapat hanya pesan singkatnya tadi pagi yang memintaku menunggu, lagi. Entah sudah kali ke berapa, aku mulai terbiasa dengan keadaan di mana; aku harus menunggu, dan ia akan membuatku menunggu itu.
Lima belas menit setelahnya, Radit datang dengan senyum semringah, tangan kanannya menjinjing sebuah lukisan berukuran sedang. Langkahnya besar-besar, seolah tak sabar untuk sampai ke hadapanku. “Tebak, hari ini ada hal baik apa yang terjadi?” tanyanya dengan raut yang tak pernah biasa bila menyangkut hal yang disukainya, kacamata yang bertengger di hidungnya turut bergerak kala ia duduk dengan heboh di sampingku.
“Kamu lolos kontes melukis?” Ia menggeleng dengan cengiran.
“Mata kuliah seni lukismu akhirnya dapat nilai bagus?” Lagi, ia menggeleng khidmat.
“Lalu apa?” Heran, biasanya hal itu sudah cukup menjadi alasan dari terbitnya senyum lebar hingga telinga yang sangat jarang ia tunjukkan itu. Lalu setelahnya, ia bercerita panjang lebar mengenai pameran seni yang akan diadakan himpunan mahasiswa di fakultasnya. Tanpa permintaan maaf atas keterlambatan, tanpa memperhatikan tubuhku yang bahkan masih berbalut seragam. Ia terus bercerita, hal-hal luar biasa yang terjadi di sekelilingnya. Meski kurang mengerti, aku tetap tersenyum dan tertawa menanggapi.
“Makan es krim, yuk!” ajakku. Aku bergegas bangkit, merapikan seragam putih abu yang belum lepas dari tubuhku. Aku siswi tingkat akhir di sekolah menengah atas swasta, sedang Radit mahasiswa seni semester dua. Beberapa detik kutunggu, Radit urung juga bangkit dari bangku taman, masih asik merapikan sisa-sisa lukisan yang kurang sempurna, menurutnya.
“Tunggu dulu...,” Lalu berlanjutlah kisah-kisah yang baginya begitu menyenangkan itu memenuhi gendang telinga. Selalu seperti ini, Radit selalu mengharuskanku mendengar sedang ia tak perlu begitu peduli dengan apa yang ingin kubicarakan. Kukira, menjalani hubungan dengan orang yang lebih dewasa akan mendewasakan. Ternyata tidak. Meskipun mungkin mendewasa tapi dengan cara yang berbeda, tak ada binar bahagia di antaranya.
“Rena?” panggilnya bingung kala aku tak menanggapi ceritanya, bahkan menatapnya pun enggan. Kualihkan pandangan ke arah barat, tak terasa, arunika pun sudah berubah penggal senja. Kuning keemasan berpadukan biru gelap yang mulai menyergap, indah. Tuhan memang andal dalam mencipta.
Beberapa menit setelah hening jadi penguasa, kuhela napas berat. “Dit? Kita udahan aja kali, ya?” Ekspresinya mendadak heran. Terkejut karena untuk kali pertama nada bicaraku tak sehalus biasanya, mungkin. Entahlah, semakin lama rasanya semakin sesak. Seperti ada yang menghimpit dadaku padahal aku tengah duduk dengan bahu bersandar.
Segera ia letakkan lukisan itu sisi bangku. Duduknya kini menghadapku, jemari yang cukup lentik untuk ukuran lelaki miliknya membelai rambut sebahuku lembut. “Rena capek, ya?” tanyanya dengan nada selembut bulu. Sial, begini saja hatiku memberontak ingin luluh. Lelaki dengan kulit kuning langsat di depanku ini mengusap pipiku sayang.
“Maaf, ya?” katanya.
“Maaf aku enggak bisa sesuai dengan maumu, maaf kalau kisah ini enggak sejalan dengan harapanmu, maaf kalau—“
“Permintaan maafmu ini untuk apa?” tanyaku was-was.
Ia tersenyum lembut, “Enggak apa-apa kalau mau udahan, kalau kamu enggak bisa bertahan sama orang yang enggak bisa sesuai dengan inginmu, pun aku yang enggak bisa sama-sama dengan orang yang enggak mau diajak sama-sama, Re..”
Kutatap wajahnya yang kini merunduk menatap ujung sepatu, dagunya dihiasi janggut tipis, jemarinya masih menggenggam jemariku yang mungil. “Dua tahun, ya, Dit? Dua tahun cuma cukup untuk kita sama-sama belajar mengenal meski sebenarnya enggak benar-benar kenal. Aku kira kamu udah paham apa mauku, aku kira aku udah mampu untuk berdiri seimbang di duniamu, nyatanya enggak. Dua tahun memang cuma jadi waktu kita menggenggam yang enggak benar-benar tergenggam,” Kulihat ia mengalihkan pandangan, salah satu bentuk ketidaksetujuannya atas ucapanku.
“Aku pergi, Dit,” pamitku lirih, meninggalkan Radit yang kian merunduk hingga dahinya menyentuh lutut. Kubekap mulut menahan isakan, rupanya seperti ini akhirnya, seperti ini akhir yang dulu selalu kutebak-tebak itu. Ternyata aku yang pergi, sedang ia tak kuasa melangkahkan kaki.
Mungkin memang bukan Radit orangnya, mungkin memang harus seperti inilah akhir yang tercipta. Jalur setapak dengan Radit terlalu mencetak luka, mungkin Semesta pun sengaja membuat kisah ini menjadi puing yang tak lagi terjamah oleh raga.
Bandar Lampung, 22 Juni 2019
Karya: Ninay
0 Comments