Pilihan || Cerpen 2020

Sumber gambar: Pinterest.com

Di suatu ketika, saat baskara ingin menyudahi tiap luka. Cuaca begitu dingin, kurapatkan tubuh ke perapian, menyerap sedikit hangat yang ia berikan. Tempat ini begitu lembap, dingin menyelimuti tubuhku hingga kurasakan embusan napasku mengepul bagai asap. Tapi aku tidak ingin beranjak pergi. Tidak bahkan sekadar menggeser tubuhku dari tempat ini.
Aku begitu mencintainya. Seberapa keras semesta meyakinkan bahwa pelitaku meredup... seberapa sering semesta menegur egoku yang mengeraskan hati... aku tak peduli. Memangnya, tahu apa semesta? Ia terlanjur membuatku kecewa. Ah, bukan salahnya. Mungkin sedari awal, memang aku yang terlalu menaruh harap pada secuil gula.
"Melamun."
"Tidak," Sepasang mata indah menatapku lembut, membuatku terseret pada ketenangan yang ia pancarkan.
"Di sini dingin, tidak ingin masuk?" Matanya melirik ke arah dua buah tenda sederhana yang kembali kami dirikan beberapa waktu lalu.
Aku diam. Mengalihkan pandangan pada gundukan tanah berlumut di sisi kaki.
"Memangnya, mau sampai kapan?"
"Apanya?"
"Melamun seperti ini."
"Kupikir kamu telah mengerti..."
"Tentu. Dan aku tak ingin melihatmu jatuh lebih jauh, maka berhentilah, Mo."
Aku memandangnya tak percaya, bagaimana bisa? Aku bangkit, lalu bersiap melangkah pergi.
"Mo,"
Aku tidak menengok. Kumantapkan langkahku, menyusuri jalan setapak. Menuntunku lebih jauh menyusuri hutan, sendirian. Kurasakan langkah kaki menyusul di belakang, tapi aku tetap tidak ingin menoleh. Membiarkan ego menguasai diriku.
Hingga akhirnya sepasang kaki terlapiskan sepatu boots cokelat itu menghentikan langkahku yang diikuti kepala tertunduk.
"Mo, aku tidak bermaksud,"
Lagi, kualihkan pandanganku, enggan menatap mata yang kini dipenuhi sesal itu.
Ia menghela napas berat, "katanya, orang yang sedang marah menjadi malas bicara, jadi, biarkan aku yang meramaikan suasana kali ini," ucapnya yang masih tak kuindahkan. Kulipat tanganku di dada.
"Ayolah, Mo, apa kamu tidak melihat niat baikku?"
"Moa,"
"Rae, sudah berapa kali kita membahas perihal ini."
"Mengertilah, Mo. Aku hanya tak ingin kamu semakin melukai dirimu sendiri nantinya,"
"Rae, ini adalah keputusanku."
"Aku memilih melawan semesta, menulikan telinga terhadap apa yang selalu mereka teriakkan padaku, aku memilih ini, Rae. Apa ini yang kau sebut niat baik? Menggoyahkan keyakinanku, begitu?"
Dia hanya diam, hal yang selalu ia lakukan saat aku hilang kendali seperti ini. Ia hanya akan mendengarkan ucapanku, membiarkanku dengan bebas meluapkan semua yang kusembunyikan dari semesta. Aku terluka, memang. Tapi setidaknya, aku terluka atas pilihanku sendiri. Bukan dengan aturan semesta. Ah, ya. Tentang semesta, aku sudah kehilangan seluruh rasa percayaku padanya, mungkin.
Aku selesai. Menatap matanya dengan nanar, lalu ia menarikku dalam dekapannya. Membalut punggung lemahku dengan lengan kekar miliknya. Sukses, hanya dengan tindakan sederhana, air mataku luruh tanpa perintah. Semakin kubenamkan wajahku pada dadanya, hangat.
“Jangan marah...,”
Sekali gelenganku sudah cukup menjadi jawaban. Aku memang tak akan pernah bisa marah dengannya dalam waktu yang lama. Cukup dengan dekapan hangat dan nada penuh sesal dalam ucapannya, maka dengan mudah amarah yang semula kutumpahkan itu menguar begitu saja. Aku tahu ini salah, tidak seharusnya perasaan ini hadir. Tidak seharusnya ada nyaman yang tercipta sementara rasaku masih berkelana, menentang takdir yang begitu keras dituntut semesta.
Seharusnya, saat ini aku kembali ke tepi gunung, tempatku menanti seseorang --yang belum pasti bisa kembali—seperti yang sudah kulakukan beberapa bulan belakangan ini. Seharusnya, wajah dingin tak tersentuh itu kini menghiasi air muka, sisi keras yang selalu kutunjukkan pada semesta. Bukan dengan tangis pilu serta tangan yang hangat--namun terasa asing--melingkari bahu yang gemetar serta napas tersendat.
“Aku hanya tak suka melihat tatapan kosong yang menghiasi wajahmu itu.” Aku mengangguk. Mengerti dengan baik apa yang ia maksud. Namun tetap saja ada bagian dalam hatiku tersirat rasa tak terima. Aku ingin semua orang tahu, bahwa sekecil apapun harapannya, aku akan tetap percaya, bahwa seseorang yang kutunggu itu pasti kembali. Memelukku sekali lagi. Sekali pun hanya untuk membuktikan bahwa penantianku tak pernah salah, waktu yang kugunakan hanya untuk menunggu tak pernah berakhir sia-sia, dan dia, tidak mungkin mengingkari janjinya.
Dan sekeras apa pun aku mengelak, tak dapat kupungkiri bahwa jauh di dasar hati, terselip secercah ragu yang begitu mengusik. Bahwa jauh di dasar hati, aku juga takut bahwa apa yang selama ini yang berusaha semesta tunjukkan adalah benar; ia takkan kembali.
“Kita pulang,” Kudorong pelan dada bidang yang baru saja menenangkanku itu. Ia menunduk, menatapku dengan dahi mengerut.
“Secepat ini?”
“Kamu yang memintanya.” Aku berbalik arah, kembali ke arah tenda sederhana yang semula kutinggalkan. Ia hanya diam, berjalan pelan di belakangku. Namun aku terlampau paham dengan gelagatnya yang satu itu. Ia menuntut penjelasan. Setidaknya yang bisa sedikit membantu kerutan di dahinya menghilang.
“Aku akan meninggalkan tatapan kosong ini.” Ia terkesiap, kurasakan langkahnya bertambah cepat, hingga kini ia berada tepat di depanku.
“Kenapa?”
“Apanya?”
“Keputusanmu,”
Aku tak menjawab. Kuteruskan langkah, berjalan santai, menimbang. Kutatap sekali lagi tempat asing yang kini terasa familiar ini. Karena aku sering mengunjunginya, mungkin. Jemariku mulai menyentuh dedaunan di sisi kiri, dengan mata terpejam, menikmati. Menikmati bagaimana tenang serta teduhnya suasana yang sangat dicintai oleh orang yang selama ini kunanti. Sekaligus..., berusaha menyimpan dengan baik apa saja usahaku agar dapat melihatnya kembali..., untuk yang terakhir kali.
Menghapus ragu pada kemungkinan yang akan terjadi, melangkah pada raga yang selalu mendukungku selama ini—
“Terima kasih,” Serta memantapkan hati pada sosok hangat yang memerangkap tubuhku dengan erat saat ini.
Karya: Ninay - Lampung

Post a Comment

1 Comments