Berdamai dengan Masa Lalu || Cerpen 2020

Sumber gambar: Flickr.com

Jalanan padat sore ini, aku masih menatap kesibukan kota dari balik kaca jendela. Kenangan menelisik kedalam hati, membuat air mata mengintip keluar dari kelopaknya. Aku menghela napas, entah sudah yang keberapa kali. Memalingkan wajah ke arah layar persegi yang bercahaya, sekarang umurku 23 tahun, sudah dewasa, dan memiliki pekerjaan yang layak.

Aku mengingat kembali, 16 tahun yang lalu, saat usiaku menginjak 7 tahun. Bocah kecil yang hanya tahu main saja, bunda terkadang marah karena aku pulang dengan keadaan tubuh dekil, padahal harusnya aku segera pergi mengaji ke TPA milik kakekku.

"Ya Allah, Daniel, kalau main itu gak usah pakai kotor-kotoran gak bisa, ya!" Seru bunda, suara indah itu masih terekam jelas dalam ingatan.

Biasanya aku akan mendengkus tidak terima, lalu mengadu kepada bapak. Jika sudah begini, bapak hanya tertawa, lalu berpura-pura menonjok lenganku.

Candaan sederhana yang hanya aku dan bapak saja yang bisa melakukannya.
Bising jalanan kota menarikku kembali kedunia nyata. Rintik hujan mulai turun, aku menatap kedai nasi goreng di sebrang jalan, asap dari penggorengan mengepul. Sementara di sebelahnya seorang ibu dan anak menatap ke arah wajan yang terus bergerak mengikuti gerak tangan sang penjual nasi goreng.
Aku kembali ingat ucapan bunda, saat dulu aku masih senang menyisakan makanan.

"Nak, makanannya jangan bersisa, nanti nasinya nangis lho."
Aku menyayangi bunda, juga bapak. Apa lagi ketika bunda bilang aku akan segera memiliki adik, aku senang bukan main. Hingga ketika bunda hendak melahirkan, aku berkeras ingin menunggu di klinik, bahkan ketika pintu ruang bersalin ditutup, aku menangis dan berteriak ingin masuk.

"Jagoan bapak tunggu di luar saja, ya, menjaga di luar. Bapak akan menjaga di dalam. Setuju?" Aku mengangguk, walau sisa air mata masih menggenang di kelopaknya. Lama sekali rasanya aku menunggu, hingga bapak datang menghampiriku, berkata bahwa aku boleh bertemu adik. Aku menatap dengan mata berbinar, tubuh adik kecil sekali, wajahnya memerah karena tidak berhenti menangis, tetapi itu terlihat lucu untukku. Kedua tangannya mengepal kuat, aku sempat berpikir apakah adik sedang mengajakku bermain tinju?

***

Malam itu, bapak berteriak kepada bunda, tubuh kecilku bersembunyi di balik tembok, tidak mengerti kenapa bunda dan bapak saling berteriak. Tiba-tiba saja bunda melangkah pergi, menjinjing satu tas besar. Aku menatap bapak yang terduduk sembari memegang kepala. Keluar dari balik tembok, menghampiri bapak.

"Bunda pergi kemana, Pak?" Tanyaku hati-hati. Bapak mendongak, tersenyum. Berbeda sekali dengan sorot matanya yang terlihat kecewa.

"Bunda pergi bekerja keluar negeri, Nak." Aku mengangguk saja. Demi melihat wajah bapak yang terlihat enggan bicara.

Setelah hari itu, bunda tak kunjung kembali. Walau hanya sekadar menanyakan kabarku.

Aku memejamkan mata, mengahalangi bulir air yang hendak menjelajahi pipi hingga batas rahang, walau sebenarnya sia-sia. Aku kembali menatap keluar jendela, hujan turun semakin deras.
Semenjak kepergian bunda, aku pindah kerumah nenekku, ibu dari bapak. Ini awal dimana nama belakangku ditambahkan marga "Sitompul". Ya, bapak beragama nasrani, bunda dan bapak memutuskan menikah tanpa merubah keyakinan masing-masing. Aku ingat sekali saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah Tuhan yang mereka sebut gereja. Tidak ada yang berubah, bapak menyayangiku seperti dulu. Hanya saja, kini harus dibagi untuk adik perempuanku. Dia begitu mirip dengan bapak kulit tubuhnya agak gelap, matanya bulat berisi. Sedangkan aku, tentu saja mirip sekali dengan bunda.
Tahun pertama sepeninggalan bunda, Aku dibuat hancur. Bapak tak pernah memarahiku, tapi, aku enggan berhenti menangis, mirip anak perempuan. Hingga akhirnya semesta menguatkanku.

Katanya, cinta pertama laki-laki adalah ibunya sendiri, dengan sangat menyesal aku katakan cinta pertama telah mematahkan hatiku, membuat kebencian melingkup dalam dada, aku hidup dalam kepura-puraan.

Saat aku menduduki kelas 9 Sekolah Menengah Pertama, bapak menghadap yang kuasa, semesta memang tidak ingin beriktikad baik terhadapku. Setelah berhasil bangkit saat kepergian bunda, aku dibuat jatuh tanpa tahu caranya berdiri saat kepergian bapak, hingga akhirnya, aku memutuskan pergi. Meninggalkan kota yang penuh dengan kenangan bapak, melarikan diri ke belahan bumi entah yang mana. Meninggalkan adik, serta pusara bapak.

***

Aku tergugu, semua kenangan itu selalu berhasil membuatku merasa dipecundangi dunia. Memenuhi dada, hingga rasanya lupa bagaimana cara bernapas. Hingga sebuah tangan mungil menggenggam tanganku yang jauh lebih besar, matanya berbinar. Sampai-sampai aku lupa bahwa di luar sana hujan masih senang berjatuhan. Rambut hitamnya jatuh menutupi leher hingga bahu.

"Ayah, apakah aku boleh main keluar?" Bibir mungil itu bergerak, walau terkadang masih kesulitan berbicara.

"Tidak, Anna. Di luar sedang hujan," Kali ini bukan aku yang menjawab, sebuah tangan memelukku dari belakang, aroma parfum menguar. Aku tersenyum, dia Gita, istriku. Satu-satunya orang yang berhasil membuatku berdamai dengan masa lalu, walau tidak sepenuhnya berhasil.

Aku memutuskan merubah keyakinanku, sesuai dengan keyakinan bunda. Beberapa waktu lalu, aku dan Gita berkunjung kerumah bunda, serta keluarga barunya. Bunda memiliki tiga orang anak, adik-adikku.

Aku berjanji, sesulit apapun sebuah hubungan. Sebesar apapun sebuah masalah dalam rumah tangga, aku tidak akan seperti bunda dan bapak, memutuskan berpisah. Menyisakan luka untuk anak-anaknya. Semoga kalian juga tidak.

Karya: Anggitha Dwi Rahayu

Post a Comment

0 Comments