Sejarah mencatat atas antusias para cendekiawan muslim terhadap kajian al-Qur’an begitu besar. Terbukti dari banyaknya produk-produk tafsir yang dihasilkan oleh para ulama’ setiap zamannya, sebagai usaha agar tafsir yang telah dipaparkan bisa diterima dan dipegang oleh banyak kalangan. Berbeda halnya ketika memasukki periode modern, tafsir al-Qur’an lebih berorientasi kepada huddālinnās dan diangkat dari konsep al-Qur’an sebagai kitab Ṣaliḥ lī kulli al-zamā n wa al-makān.
Tafsir modern dipelopori oleh Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha. Paradigma al-Qur’an sebagai kitab petunjuk, (Chirzin 2006, 10) membuat banyak kalangan merespond paradigma Abduh ini. Salah seorang yang merespond hal ini adalah Amin al-Khuli dengan pemikiran melalui pendekatan kritik sastranya.
Pemikiran Amin al-Khuli Terhadap Bahasa dan Sastra Arab
Kajian tafsir Amin al-Khuli tidak terlepas dengan bahasa dan sastra Arab. Melihat keadaan ini, terlihat jelas yang menjadi latar belakang dari sebuah pemikirannya yaitu inspirasi dari Muhammad Abduh, dimana beliau melakukan pembaharuan terhadap kajian al-Qur’an sebagai sumber petunjuk bukan untuk kepentingan ideologi atau kepentingan lainnya dengan tujuan agar dapat diterima masyarakat luas dengan makna yang praktis dan mudah dipahami, bukanlah hanya untuk ulama’ yang professional. (Ramadhani 2017, 7–8)
Al-Khuli memulai dengan upayanya dalam mendekonstruksi wacana sastra Arab dalam karya pentingnya yang membahas kritik dua hal tersebut. terdapat dua metode kajian sastra yang dikedepankan sebagai point penting dalam karyanya. Pertama, kritik ekstrinsik (an-naqdul ḥāriji) yang diarahkan pada kritik sumber, mulai dengan memperhatikan faktor sosiologi-geografis, religio-kultural, kejiwaan/psikologi maupun politis. Kedua, kritik intrinsik (an-naqdul dāḥili), yang diarahkan pada teks sastra itu sendiri yaitu dengan analisis linguistik yang terarah sehingga mampu menangkap makna yang ada. (Aminullah, n.d., 331–32)
Dalam hal ini al-Khuli termasuk pada kajian sastra terhadap kritik ekstrinsiknya dalam hal epistimologis. Hal ini dibuktikan dengan beberapa aspek yang menjadi pokok utama dari pemikirannya. Unsur psikologis dari sebuah teks harus benar-benar dipahami secara natural. Artinya bahwa sertiap teks dan juga penafsir harus benar-benar ada. Unsur psikologis teks dan pembuat teks harus dipahami.
Sedangankan, kritik intrinsik terhadap sastra Arab ini membutuhkan perangkat anlisis Balaghah. Al-Khuli juga menunjukkan kajian terhadap Balaghah dari unsur bahasa dan sastra, serta menguji hubugan keduanya, lalu memperkenalkan keduanya, kemudian memperkenalkan pada metode kontemporer untuk menemukan hubungan dengan tradisi, antara perkembangan sastra dan bahasa secara umum.
Metodologi Tafsir Sastra Amin al-Khuli
Menurut al-Khuli bahwa idealnya studi al-Qur’an, metode yang tepat untuk mengkajinya, melalui beberapa tahapan sebagai berikut. Pertama, tentang latar belakang historis dan situasi-situasi asal atau dalam kasus al-Qur’an, penjelmaan di bumi melalui pewahyuan harus di ekplorasikan. Oleh karena itu seseorang harus mengkaji tradisi-tradisi keagamaan dan kultural, situasi sosial bangsa Arab terdahulu, dan kronologi penyampaian teks al-Qur’an dan lainnya.
Kedua, dengan memperhatikan seluruh pengetahuan yang relevan dan dihimpun dala metode penafsiran, sehingga seseorang harus menetapkan makna yang tepat untuk kata perkata teks al-Qur’an. Oleh karena itu, pertma-tama menetapkan makna literal yang benar dengan menggunakan seluruh bahan sejarah dan yang lainnya. Dan untuk memahami al-Qur’an secara sempurna, kita harus mengetahui sejauh mungkin mengenai bangsa Arab tersebut.
Metode tafsir ini ditawarkan al-Khuli yang dikenal dengan tafsir sastra terhadap al-Qur’an (al-Tafsir al-Adabi al-Qur’an), sasarannya untuk mendapatkan pesan al-Qur’an secara menyeluruh dan diharapkan bisa terhindar dari tarikan individual-ideologis dan politik kekuasaan. (Aminullah, n.d.)
Dapat disingkat bahwa prinsip yang ditawarkan oleh al-Khuli dalam metodologi penafsiran terhadap al-Qur’an, yaitu:
1. Kajian mendalam atas karakter jazirah Arab, sejarah, bahasa dan kebudayaan sebelum islam.
2. Pengetahuan al-Qur’an secara tematik.
3. Pengetahuan al-Qur’an secara kitab.
4. Klasifikasi surah-surah dan ayatal-Qur’an menurut kronologi sejarahnya.
5. Kajian atas tema-tema yang akan ditafsirkan, dimulai dari kosa kata, sampai rangkaian kalimat dengan perhatian khusus pada aspek psikologis dan sosial kandungan.
Contoh Penafsiran
Ayat al-Qur’an yang ditafsirkan secara tematik mengenai harta. Dalam pandangan al-Khuli, al-Qur’an juga berbicara tentang kewajiban para pemilik harta dalam menunaikan zakat, dimana al-Qur’an dalam menggunakan kata al-itā disini terdapat lebih dari 20 tempat. Al-Qur’an hanya menggunakan kata tersebut untuk memerintahkan penunaian zakat diantaranya dalam Surah al-Baqarah [2]: 277, at-Taubah [9]: 5 dan 11, al-Hajj [22]:41.
Kata al-itā yang dimaksudkan adalah pemberian yang tulus, segera, dan ringan bagi jiwa pemberiannya. Hal ini merupakan penunaian mulia dari seseorang yang mencerminkan kesegeraan dan konsisten, sehingga di dalamnya mengandung makna ringan tangan dan ketulusan yang dirasakan dalam menunaikan kewajiban memberi tersebut. (Aminullah, n.d.)
Dari berbagai telaah dapat diambil kesimpulan, bahwa metode al-Khuli merupakan pemberian wacana baru dalam perkembangan ilmu tafsir. Terlepas dari pelbagai macam pro dan kontra, menurut hemat penulis hal terpenting yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana semangat al-Khuli dalam membumikan al-Qur’an serta usaha untuk menjauhkan tafsir dari subjektifitas mufassirnya. Hal tersebut harus dipelihara untuk menjaga kemurnian al-Qur’an dari kepentingan-kepentingan ideologis dan madzhab.
Wallahu’alam
Daftar Pustaka
Aminullah M. Hermeneutika dan Lingusitik Perspektif Metode Tafsir Sastra Amin al-Khuli. ejournal. IX(2):325–48.
Chirzin M. Diantara Karya-Karya Tafsir Kontemporer Ontologi Studi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: TH Press; 2006.
Ramadhani W. Amin al-Khuli dan Metode Tafsir Sastrawi atas al-Qur’an. J At-Tibyan. 2017;2(1).
0 Comments